Beranda Berita Forjim: Rohingya Bukan Etnis Pendatang

Forjim: Rohingya Bukan Etnis Pendatang

BERBAGI
Tabligh Akbar “Rohingya Jeritanmu Panggilan Jihad”/Forjim

Serpong, AHAD.CO.ID – Tidak beriman jika kalian tidak mencintai saudaranya, seperti ia mencintai dirinya sendiri. Karena itu kecintaan kita pada saudara Muslim, khususnya muslim Rohingya adalah bagian dari keimanan.

Demikian kata pembuka Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Forum Jurnalis Muslim (Forjim) Dudy S. Takdir dalam Tabligh Akbar “Rohingya Jeritanmu Panggilan Jihad” di Masjid Al-Ikhlas, Paradise Serpong City, Serpong, Tangerang Selatan, Ahad (17/9) pagi. Hadir dalam Tabligh Akbar tersebut, Ustadz Abu Jibril (Majelis Mujahidin) dan Ustadz Mukhlis (Aktivis Gerakan Islam LPPDI Thariquna).

“Muslim Rohingya adalah bagian dari tubuh kita. Kalau kita tidak peduli dengan penderitaannya, abai terhadap hak-hanya, kelak di hari kiamat nanti, Allah akan tanya, kenapa kalian tidak peduli dengan saudara muslim Rohingya yang dibantai oleh Pemerintah dan militer Myanmar?,” kata Dudy yang juga redaktur eksekutif AHAD.CO.ID.

Sebelumnya, Dudy menginformasikan, Forjim adalah sebuah wadah bagi jurnalis muslim untuk mengimbangi sekaligus meng-counter informasi yang selama ini menyudutkan Islam dan umat Islam dimana pun berada. Saat ini Forjim memiliki 100 anggota jurnalis Muslim dengan media yang berbeda, baik media Islam maupun media nasional.

“Pekan depan Forjim, Insya Allah akan memberangkan empat orang anggotanya untuk meliput pengungsi Muslim Rohingya. Kami berbagi tugas, ada yang berangkat ke perbatasan Bangladesh, kemudian pengungsi Rohingya di Malaysia, dan sedang diupayakan untuk bisa masuk ke Rakhine State, Maynmar. Seperti diketahui, banyak kabar hoax, misinformasi yang tersebar, hingga framing media dalam memberitakan muslim Rohingya,” jelasnya.

Dudy yang pernah bekerja di Majalah Gatra menjelaskan posisi muslim Rohingya yang berada di bagian barat laut Myanmar. Tak heran jika terjadi pembantaian, mereka eksodus besar-besarana ke Bangladesh.

“Komposisi penduduk Myanmar, terdiri 135 kelompok, meliputi: Bamar, Shan, Karen, Rakhine, Rohingya, Kachin, Chin, Karenni, Mon, Wa, dan Kokang Chinese. Diantara banyak etnis di Myanmar, hanya satu yang tidak diberikan hak-haknya sebagai warga negara Myanmar, yakni etnis Rohingya, yang penduduknya mayoritas muslim,” jelas Dudy.

Dalam makalahnya yang berjudul “Konflik Rohingya dalam Lintasan Sejarah”, Dudy memaparkan sejarah yang ditulis oleh sejarawan Myanmar, bahwa bukti artefak berupa koin menunjukan keberadaan etnis Rohingya di kerajaan Islam Arakan sudah ada sejak abad ke-8. Wilayah itu kini terbagi di dua negara, Rakhine di Myanmar dan Bengal di Bangladesh.

Baca juga :   Terkait Polemik Hari Sekolah, Begini Saran MUI

Kemudian, pada tahun1799, Francis Buchanan (sejarawan Scotlandia) menerbitkan A Comparative Vocabulary of Some Languages of Burma Empire. Di sana disebut pertama kali kata Rooinga atau Rohingya.

“Penelitian itu mematahkan argumen Pemerintah Myanmar yang menyebut etnis Rohingya adalah warga pendatang atau masuk belakangan. Padahal, etnis Rohingya sudah masuk Arakan sebelum Negar Burma berdiri,” kata Dudy.

Tahun 1824, Inggris menginvasi Burma. Selanjutnya, tahun 1937, Provinsi Burma terbentuk dan terpisah dari koloni British India. Tahun 1947, Undang-Undang Dasar Provinsi Burma terbentuk. Etnis Rohingya mengikuti pemilu untuk memilih perwakilan di dewan provinsi.

Pada 1948, Burma merdeka dari Inggris. Negara Serikat Burma berdiri. Kemudian, tahun 1959, Rohingya diakui sebagai salah satu ras di Burma oleh Perdana Menteri U Ba Sue. Mereka memiliki hak konstitusi yang sama dengan etnis lainnya.

Pada tahun 1962-1978, Jenderal Ne Win mengudeta PM U Nu. Junta militer Myanmar menggelar operasi Naga Min. Etnis Rohingya mulai diburu dan dibantai.

Selanjutnya tahun 1982, berlaku UU baru. Untuk mendapatkan hak kewarganegaraan, etnis Rohingya harus membuktikan leluhur mereka telah berdiam di Myanmar sejak 1823. Akibatnya 800.000 orang kehilangan status.

Tahun 1994, anak yang lahir dari etnis Rohingya tak lagi mendapat akta kelahiran. Tahun 2012, Konflik horizontal pecah antara etnis Rohingya dan Rakhine. 135.000 warga Rohingya kehilangan rumah dan tinggal di kamp pengungsian di Sittwe, Rakhine.

Tahun 2014, sensus penduduk pertama sejak 30 tahun. Rohingya tak masuk daftar 135 etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Pada 2015, Warga Rohingya tidak bisa ikut pemilu.

Dudy mencatat, Oktober 2016, Kelompok pejuang Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang pos polisi sebagai balasan atas tindakan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya selama puluhan tahun.

Bulan Agustus 2017, ARSA kembali menyerang 24 pos polisi di Rakhine. Militer dan milisi Budha membalas dengan serangan membabi-buta. Mengakibatkan gelombang pengungsian secara besar-besaran.

FARA V SYAHRINI