Nauru, AHAD.CO.ID- Kepala Marjan menetes darah segar hingga membasahi leher dan dadanya. Kepala perempuan pengungsi asal Iran itu mengalami luka serius akibat dipukul oleh dua orang pria di depan huniannya tahun lalu.
Pengungsi asal Iran lainnya, Omid (23), pada akhir April lalu menyiram tubuhnya dengan bensin lalu membakar diri setelah berteriak, “Saya tidak tahan lagi!” Dia meninggal setelah dilarikan ke Rumah Sakit Royal Brisbane dengan luka bakar 80% pada tubuhnya.
Hanya berselang beberapa hari kemudian, seorang wanita 21 tahun asal Somalia melakukan aksi mengorbankan diri di Nauru. Perempuan bernama Hodan itu saat ini masih dirawat di sebuah rumah sakit di Australia.
Peristiwa itu bukan terjadi di Iran atau Somalia, melainkan di Nauru, sebuah negara terkecil di dunia seluas 20 km persegi yang terletak di Pasifik atau di timur laut Australia.Republik Nauru dijadikan Australia sebagai pusat penahanan pengungsi dan pencari suaka yang ingin ke Australia
Warga ‘Negeri para Mullah’ itu hanyalah beberapa dari ratusan pengungsi di Republik Nauru, dan kejadian tragis yang mereka alami hanyalah satu dari rentetan cerita pilu yang ada di negara pulau itu, yang berkaitan dengan penanganan pengungsi.
Kisah-kisah pilu itu ternyata bukanlah isapan jempol belaka. Pasalnya, baru-baru ini lebih dari 2.000 dokumen yang bocor ke publik menyingkap praktik buruk yang terjadi di pusat penahanan pengungsi dan pencari suaka milik pemerintah Australia di Nauru.
Kekerasan dan aksi tak manusiawi yang terjadi di kamp tersebut sangat beragam, dari pelecehan seksual, penyiksaan, menyakiti diri sendiri, hingga pemerkosaan.
Salah satu detail kejadian kekerasan yang tersingkap dalam 2.116 arsip yang bocor itu yakni kasus seorang perempuan yang terpaksa menyakiti dirinya sendiri karena ia tidak ingin ‘laki-laki menyentuh tubuhnya’.
Seorang ‘penasehat budaya’ untuk Wilson Security, yang mempekerjakan penjaga di pusat penahanan pengungsi milik Australia tersebut, mengatakan kasus pemerkosaan umum terjadi di ‘Negeri Kanguru’.
“Pemerkosaan di Australia sangat jamak dan orang-orang tidak dihukum,” kata sumber itu kepada Daily Mail, Rabu (10/8) waktu setempat.
Ada banyak laporan dari pencari suaka yang mencoba untuk meracuni diri dengan meminum cairan pemutih atau deterjen, atau dengan menelan batu.
Dalam ribuan dokumen yang pertama kali disingkap oleh Guardian Australia itu, menunjukkan lebih dari setengah korban adalah anak-anak dan perempuan remaja yang rentan mengalami kekerasan seksual.
Bocoran tersebut berasal dari saksi mata di lapangan, dari pekerja sosial, penjaga, petugas medis, guru, hingga petugas perlindungan anak.
Kecaman Amnesti Internasional
Pemerintah Australia memiliki penahanan imigrasi dan pusat pengelolaan pencari suaka lepas pantai di Nauru. Canberra menggelontorkan bantuan dana untuk Nauru dan sebagai imbalannya Australia mendapat hak untuk mendirikan pusat penampungan pengungsi sementara.
Pusat penahanan Australia di Nauru pertama kali dibuka pada 2001, ditangguhkan pada 2008, dan dibuka kembali pada bulan Agustus 2012.
Pemerintah Australia memproses para pencari suaka yang tiba di ‘Negeri Kanguru’ dengan perahu dengan mengrim mereka ke dua fasilitas penahanan yakni di Nauru dan Pulau Manus di Papua Nugini.
Sistem pengelolaan pencari suaka dan imigran lepas pantai yang dijalankan Australia itu telah dikritik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amnesty International, serta kelompok-kelompok advokasi lainnya.
Sepanjang 2015-2016, Australia menerima 13.750 orang pencari suaka melalui program kemanusiaan dan telah berkomitmen untuk menerima tambahan sebanyak 12.000 pengungsi yang melarikan diri dari Suriah dan Irak.
Kalangan pembela hak asasi melontarkan kritikan terhadap pemerintah Perdana Menteri (PM) Australia, Malcolm Turnbull, atas apa yang terjadi di kamp Nauru.
Australia dinilai telah gagal mengatasi kekhawatiran yang muncul selama ini tentang cara memperlakukan orang dewasa dan anak-anak dalam tahanan.
Tim O’Connor dari Dewan Pengungsi Australia, menyatakan, praktik tak manusiawi seperti yang disingkap dalam ribuan laporan yang bocor tersebut memuakkan. Ia mendesak pemerintah untuk memindahkan semua orang yang ditahan di Nauru ke Australia.
Direktur Human Rights Watch (HRW) untuk Australia, Elaine Pearson, menyatakan ribuan arsip yang bocor itu melukis sebuah ‘gambaran mengganggu’ tentang perlakuan kejam yang dialami pengungsi dan pencari suaka di kamp Nauru.
“Kebijakan ini tidak manusiawi dan tidak bertanggung jawab, dan itu berarti para pengungsi dan pencari suaka tetap rentan menghadapi kekerasan dan penganiayaan lebih lanjut,” ujar Pearson seperti dilansir ABC, Rabu (10/8).
Presiden Komisi Hak Asasi Manusia, Gillian Triggs, menyebut ribuan dokumen itu sangat menyedihkan untuk dibaca. Ia mengaku pihaknya telah menyerahkan bukti-bukti tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang hampir serupa dengan laporan Guardian Australia kepada pemerintah dua tahun lalu.
Lembaga Save the Children, yang sebelumnya memberikan pelayanan kesejahteraan di pulau Nauru, mengatakan dokumen yang bocor itu menggarisbawahi kebutuhan untuk menemukan solusi tempat penampungan yang baru.
“Nauru bukan tempat yang tepat untuk anak-anak yang rentan dan terus membiarkan mereka merana di sana merupakan tindakan yang sangat jahat,” kata juru bicara Save the Children, Mat Tinkler, dalam sebuah pernyataan seperti dilaporkan News.com.au.
Asosiasi Medis Australia (AMA) menyerukan pemerintah PM Turnbull untuk memungkinkan penyelidikan independen dan penilaian kondisi kesehatan dan hidup di tahanan lepas pantai.
Merespons laporan yang bocor dan berbagai kritikan yang mencuat, pemerintah Australia membela diri dengan mengatakan banyak laporan tuduhan yang belum dikonfirmasi.
“Pemerintah Australia terus mendukung pemerintah Nauru untuk menyediakan layanan kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan kepada semua orang yang ditransfer dan pengungsi,” kata seorang juru bicara Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan seperti dilansir BBC.
Sementara PM Turnbull mengatakan pemerintah akan mengkaji atau menginvestigasi ribuan dokumen yang dipublikasikan di laman Guardian Australia itu. (Laporan khsus Mi’raj Islamic News Agency)