Jakarta, AHAD.CO.ID – Terlahir dengan nama Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, di Bukhara pada 13 Syawal 194 H. Imam Bukhari, begitu kaum muslimin mengenalnya, adalah seorang perawi hadits kenamaan. Kitabnya berjudul Al-Jami’ As-Shahih menjadi rujukan umat Islam sedunia karena keseluruhan hadits di dalamnya berkategori shahih.
Selama 16 tahun ia menghabiskan waktu mengunjungi berbagai kota untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits. Dari satu juta hadits yang ia hapal, hanya 9082 hadits –menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani- yang ia tuliskan dalam kitab Al-Jami’ As-Shahih karyanya. Ia menyeleksi dengan sangat ketat hadits-hadits tersebut. Hanya hadits-hadits yang memiliki sanad (periwayatannya) bersambung, dan dibawa oleh perawi yang tepercaya dan kuat hapalannya yang ia tuliskan dalam kitab yang saat ini dikenal sebagai Shahih Bukhari. Untuk mendapatkan keterangan lengkap tentang sebuah hadits, ia bahkan meneliti karakteristik para perawi hadits tersebut.
Salah satu dorongannya untuk menulis Al-Jami’ As-Shahih adalah kedatangan Rasulullah SAW dalam mimpinya. Seorang ahli tafsir mimpi yang ia datangi mengartikan bahwa Imam Bukhari akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang ditulis orang-orang dalam hadits Rasulullah SAW. Ia pun tak pernah main-main dalam menuliskan hadits-hadits Rasulullah SAW. Tak ada hadits yang ditulis tanpa didahului salat Istikharah dan keyakinan bahwa hadits tersebut shahih.
Meski begitu, kehidupan ulama yang terkenal akan ingatannya yang kuat ini tak lepas dari fitnah. Saat orang berbondong-bondong berguru padanya, muncul fitnah yang mengatakan bahwa ia berpendapat Al-Quran adalah makhluk. Walhasil, orang-orang menjauhinya karena ia dianggap ahli bid’ah. Dalam sebuah majelis, ia menyampaikan pendapatnya bahwa Al-Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
Dalam perjalanannya menuju Samarkand, untuk memenuhi permintaan penduduk daerah tersebut yang menginginkannya menetap di sana, ia singgah di Khartand, desa kecil yang berjarak sekitar 10 kilometer sebelum Samarkand, untuk mengunjungi sanak keluarganya. Setelah menderita sakit selama bebarapa hari, tepat pada malam menjelang Idul Fitri, ulama pengumpul hadits shahih tersebut wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Selepas salat Zuhur pada hari raya Idul Fitri, jenazah beliau dikebumikan.
HADITSWEB | FARA V SYAHRINI