Oleh Asyari Usman
Mantan wartawan BBC*
AHAD.CO.ID – Kemarin, di Cirebon, polisi membubarkan acara bedah buku tentang pemurtadan. Alasannya, acara ini bisa mengandung unsur SARA dan bisa mengancam stabilitas keamanan. Acara berlangsung di masjid Abdurrohim. Sebelum dipindahkan ke masjid ini, acara mau digelar di masjid Pertamin tetapi dibatalkan karena ada tekanan dari polisi, dari pimpinan Pertamina, dan dari ormas GMBI. Sejumlah ustad, termasuk pemateri, ditangkap polisi.
Tak lama lagi, pembubaran seperti ini akan berlangsung di seluruh Indonesia. Bahkan, acara-acara pengajian biasa pun bisa dibubarkan dan para ustad ditangkapi. Dasarnya nanti adalah UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) yang diusulkan pemerinatah sebagai revisi atas UU No 15 Tahun 2003. Revisi masih berlangsung di DPR dan berjalan alot karena revisi pasal-pasal yang diusulkan pemerintah akan memberikan kewenangan yang sangat besar kepada kepolisian untuk melakukan tindakan apa saja yang mereka definisikan sebagai “tindakan yang perlu dilakukan”.
Usul revisi itu dikerjakan semasa Luhut Binsar Panjaitan masih menjadi Menko Polhukam.
Kalau usul revisi itu disahkan langsung, maka akan sangat besarlah kekuasaan polisi untuk melakukan apa saja terhadap “sumber” terorsime. Dan, “sumber” itu tak lain ada kaum muslimin. Begitu kata Raden Muhammad Syafi’i, ketua Panja (panitia kerja) revisi di DPR. Dia adalah salah satu politisi yang sangat artikulatif di parlemen.
Lanjutan artikel ini sengaja saya lengkapi dengan narasi dari Romo, begitu panggilan akrab Pak Syafi’i, tentang revisi usulan pemerintah itu. Saya kutipkan komentar-komentar Romo tentang revisi itu tak lain karena beliau sangat memahami nuansa usulan itu.
Menurut Romo, kalau revisi diterima begitu saja, maka polisi atau badan intelijen bisa mengatakan khutbah Jumat ini atau khutbah Jumat itu melanggar UU Terorisme. Khatib bisa ditangkap dengan dakwaan terosime. Begitu juga dengan pengajian-pengajian. Kalau polisi mengatakan materinya “berbahaya”, maka pengajian tidak bisa dilanjutkan dan ustadnya bisa dikenai pasal terorsime. Ini menurut Romo.
Jadi, menurut beliau, pasal-pasal yang diinginkan oleh pemerintah adalah ketentuan yang bisa mencakup apa saja yang dianggap perlu oleh polisi.
Polisi dan intelijen, menurut Romo, ingin kekuasaan yang luas seperti pasal-pasal karet di masa pemberlakuan UU Subversif pada masa otoriter Orba dulu.
Contoh lain, menurut Romo, adalah penindakan terorisme sejak dini, ketika seseorang melakukan “persiapan” untuk aksi teror. Kalau revisi usulan pemerintah diiyakan saja, salah satu dampaknya adalah kewenangan polisi untuk menahan siapa saja yang “dianggap” mau melancarkan serangan teror.
Kapolri memberikan jaminan bahwa penerapan UU Terorisme tidak akan melanggar HAM. Kalau Kapolri sendiri yang turun ke lapangan, masyarakat mungkin bisa percaya. Tetapi, yang bakal melaksanakan tugas pemberantasan terorisme itu tentunya puluhan ribu polisi di seluruh Indonesia.
Dengan penafsiran masing-masing, maka akan kita saksikanlah nanti pembubaran pengajian dengan dalih ada unsur terorisme. Akan kita saksikanlah pembubaran tabligh akbar dengan alasan bisa menginspirasi terorisme, dan bisa jadi juga khutbah Jumat dihentikan karena dianggap mendorong aksi terorisme.
Karena itu, masyarakat luas -khususnya kaum muslimin- perlu ikut memantau perkembangan pembahasan revisi yang sedang berlangsung di DPR. Sebab, pada saat ini Panja RUU sedang “didesak keras” agar segera mensahkan revisi. Romo yang kritis melihat usul revisi itu dianggap oleh kalangan yang menginginkan tindakan represif terhadap kegiatan dakwah, sebagai pemuja teroris.
Jadi, diperlukan resistensi yang logis dan dingin dari kalangan kaum muslimin karena sangat kental kesan bahwa satu-satunya subyek UU Terorisme adalah Islam dan kaum muslimin. Sebagai orang Islam yang tidak menginginkan tindak kekerasan oleh siapa pun, saya dan Anda harus menentang revisi yang akan memberikan “kekuasaan liar” kepada kepolisian dan badan-badan intelijen.
Kaum muslimin tidak rela UU Terorisme akan berubah menjadi UU anti-Islam.
*Penulis adalah mantan wartawan BBC. Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitan dengan BBC.