Oleh Sidik Sasmita
(Pernah belajar di pasca-sarjana FIB UGM)
Prof. Heddy Shri Ahimsa. Dosen senior Prodi Antropologi Departemen Ilmu Budaya UGM ini, juga mengajar pada jurusan Ilmu Sejarah (pasca-sarjana), dimana saya ikut di dalam kelasnya.
Beliau dosen yang “nyentrik” dan kharismatik, juga peneliti yang tekun. Kepakarannya dalam bidang metodologi, epistemologi, dan strukturalisme, terutama strukturalisme Perancis. Dalam mengajar beliau sangat ketat, detail, rigor.
Saya banyak terbantu dalam memahami Paradigma-nya Kuhn oleh buku tipis yang sengaja beliau tulis dan bawa ke kelas sebagai catatan kritis atas teori revolusi ilmu pengetahuan filsuf Amerika ini.
Penampilan kesehariannya ajeg, tak berubah; kemeja putih lengan panjang digulung, bercelana jins longgar. Di luar kelas, selalu beralaskan sendal jepit. Rambut agak panjang, berjanggut minimalis, jidat agak hitam.
Sangat mudah menemui beliau. Setiap waktu shalat tiba, di mushola FIB yang mungil itu, anda akan menemuinya sedang bersila di shaff yang paling depan, menanti shalat berjamaah didirikan. Dan beliau sendiri biasanya yang didaulat sebagai imam.
Jika pas kebetulan waktu ngajar bertabrakan atau berimpitan dengan waktu shalat, beliau akan diskusikan dengan kelas, bahwa jam kuliah akan digeser dan disesuaikan setelah selesai mengerjakan shalat.
Begitulah, Prof Ahimsa. Dan apakah karena begitu, beliau kemudian ditolak memberikan publik lecture (kuliah umum) di Masjid UGM bersama UAS?
“Bukan begitu, itu karena kuliah umum tersebut tidak selaras dengan jati diri UGM”.
Tentu saja itu jawaban yang mengada-ngada.