Beranda Berita AILA: Konsep Otoritas Tubuh dalam RUU P-KS Merugikan Perempuan

AILA: Konsep Otoritas Tubuh dalam RUU P-KS Merugikan Perempuan

BERBAGI
Kredit foto: liputan6.com

Jakarta, Ahad.co.id- Berbeda dengan pandangan feminis pada umumnya, ternyata konsep body authority menjadi jurang yang tajam bagi feminis dan juga banyak merugikan kaum perempuan. Demikian diungkap Peneliti The Center for Gender Studies, Ayu Arba Zaman dalam diskusi Kekerasan Seksual vs Kejahatan Seksual: Problem Paradigma Sexual Consent dalam RUU P-KS” yang diselenggarakan oleh AILA Indonesia secara daring, Ahad (07/02/2021).

Dalam pandangan feminisme, orang dianggap memiliki otoritas tubuhnya jika dia memiliki kontrol terhadap tubuh secara merdeka. Sehingga, lanjut Ayu, pihak-pihak di luar dirinya harus mendapatkan izin jika hendak melakukan akses terhadap tubuhnya.

“Maka di sini, persetujuan adalah bentuk konfirmasinya, dan dianggap sebagai sesuatu yang valid sekaligus menggambarkan kesediaan seseorang atas resiko-resiko yang mungkin akan muncul,” papar Ayu.

Ayu menerangkan, konsep persetujuan dan body authority justru akan memberikan akibat buruk bagi perempuan dan menjadi bumerang sekaligus jurang yang tajam bagi perempuan.

“Sebetulnya, wacana body authority ini menjadi jurang yang tajam bagi feminis, karena pada gilirannya konsep ini akan dan telah membangun paradigma bahwa perempuan boleh melakukan apa saja asal dia setuju dan bertanggung jawab,” ungkap Ayu.

Baca juga :   Idul Adha, Presiden Afghanistan Serukan Perdamaian

Tidak sampai di situ, untuk menguatkan argumentasinya, Ayu memaparkan bagaimana dalam tubuh feminis sendiri terdapat pertentangan dan kritik yang tajam terhadap konsep tersebut.

“Ada seorang feminis asal Inggris, Sheila Jeffreys yang tampaknya greget dan kesal dengan konsep persetujuan dalam kaitan hubungan seksual ini, karena konsep persetujuan yang dipropagandakan feminis non-radikal menimbulkan beberapa masalah baru dalam dirkursus feminisme itu sendiri, karena dalam perspektif feminis selalu menegaskan bahwa perempuan tidak pantas menerima pelecehan bagaimanapun mereka berperilaku, dan bahwa tanggung jawab atas pelecehan terletak pada pelaku,” imbuh Ayu.

Bagi Sheila Jeffreys konsep persetujuan merupakan kedok dari relasi kuasa dan banyak merugikan perempuan. “Konsep ini seperti membiarkan perempuan untuk memperlakukan diri dan tubuhnya sekehendak hati, padahal ia belum mengetahui resiko yang akan terjadi pada dirinya,” pungkas Ayu. (Hasbi)