Brussel, Ahad.co.id- Lebih dari 1.000 anggota parlemen dari seluruh Eropa telah menandatangani surat yang menyatakan penentangan keras terhadap rencana Israel untuk mencaplok bagian-bagian Tepi Barat, Palestina.
Surat itu mengangkat “keprihatinan serius” tentang rencana tersebut dan menyerukan “konsekuensi yang sepadan” bagi Israel jika tetap melakukannya.
Isi surat yang dikirim ke kementerian luar negeri Eropa itu memperingatkan bahwa aneksasi sepihak wilayah Tepi Barat bisa “berakibat fatal bagi prospek perdamaian Israel-Palestina dan akan menantang norma paling dasar yang memandu hubungan internasional”. Ini merupakan tanda meningkatnya tekanan internasional terkait rencana tersebut.
Surat yang ditandatangani oleh 1.080 anggota parlemen dari 25 negara itu memperingatkan “potensi yang tidak stabil” di kawasan jika aneksasi tetap dilanjutkan, demikian diwartakan BBC, Kamis (25/06/2020).
Beberapa surat kabar telah menerbitkan surat tersebut, sekira sepekan menjelang dimulainya proses aneksasi. Menurut kesepakatan pembagian kekuasaan yang mengarah pada pembentukan pemerintah Israel bulan lalu, pencaplokan dapat dilakukan mulai 1 Juli.
Proyek ini dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang berusaha untuk memperluas kedaulatan Israel atas bagian-bagian Tepi Barat yang berisi pemukiman ilegal Yahudi.
Jika rencana itu disahkan, langkah tersebut dapat menggabungkan hingga 30 persen dari wilayah yang diklaim Palestina sebagai tanah negara merdeka di masa depan.
Penggabungan permukiman Yahudi ke dalam kedaulatan Israel itu telah diberi lampu hijau di bawah Visi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk Perdamaian yang diumumkan pada Januari, sebah rencana untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung beberapa dekade.
Palestina telah menentang rencana Trump dan telah memboikot hubungan diplomatik dengan AS.
Sekira 430.000 orang Yahudi tinggal di lebih dari 130 permukiman yang dibangun sejak Israel menduduki Tepi Barat dalam perang Timur Tengah 1967.
Permukiman secara luas dianggap ilegal di bawah hukum internasional, meskipun Israel, dan AS di bawah pemerintahan Trump, membantahnya. (Daniel)