Jakarta, Ahad.co.id- Koordinator Komite Milenial Anti Korupsi, Agus L curiga ada kongkalikong antara Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Dugaan itu terkait program penempatan Pekerja Migran Indonesia Satu Kanal atau yang dikenal dengan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) Pekerja Migran Indonesia ke Arab Saudi.
Tudingan itu terkait keluarnya Keputusan Menteri No. 291 tahun 2018 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi Melalui Sistem Penempatan Satu Kanal’ yang terkesan dikeluarkan dengan tergesa-gesa karena kepentingan atau desakan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan demi keuntungan semata, mengingat Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan dari undang-undang No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum dikeluarkan oleh pemerintah.
Agus mengatakan, dari awal keanehan tentang perusahaan penempatan yang ditunjuk untuk melakukan penempatan melalui program SPSK ini harus melalui ‘assesment’ yang dilakukan oleh Kementerian.
Di dalam Kepmenaker No. 291 pada bab III nomor 1 K disebutkan bahwa perusahaan penempatan harus memiliki surat/bukti keanggotaan dalam Asosiasi yang ditunjuk sebagai wakil dari KADIN, dimana semua orang tahu hanya APJATI sebagai satu-satunya asosiasi yang memiliki surat penunjukan oleh KADIN, sehingga asosisasi lain tidak mendapatkan kesempatan yang sama.
“Apa urgensinya bahwa asosiasi harus terdaftar di KADIN? Padahal ada lebih dari 1 asosiasi perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia yang seharusnya Kemnaker memberikan kesempatan yang sama kepada asosiasi-asosiasi lain. Dan poin-poin itu tadi yang menjadi salah satu dasar assesment yang dilakukan oleh Kemnaker,” kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Ahad (29/09/2019)
Masih di dalam Kepmenaker No. 291 pada bab III no. 2, Agus melanjutkan, disebutkan juga bahwa asosiasi bertanggung jawab dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
“Lalu apa fungsi perusahaan-perusahaan penempatan ini tadi? Padahal jelas yang menempatkan tentunya adalah perusahaan penempatan maka yang paling bertanggungjawab didalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia adalah perusahaan penempatan itu sendiri sesuai fungsi perusahaan penempatan dan tidak ada di dalam fungsi asosiasi,” jelas dia.
Lebih lanjut Agus mengungkapkan, assiasi jelas tidak boleh melakukan bisnis. Lalu di mana fungsi Kementerian Ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi pihak yang harus memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia?
“Ini malah tidak disebutkan didalam Kepmen 291, bahkan Kementrian Luar Negeri yang seharusnya menjadi bagian dari pelindung warga negara Indonesia diluar negeri sama sekali tidak dilibatkan,” kata dia.
Masih menurut Agus, semakin kuatnya posisi APJATI di dalam program SPSK ini sangat terlihat di dalam Kepmen 291 tersebut, kemudian diperkuat pula oleh surat yang dikeluarkan oleh Kemnaker melalui Dirjen Binapenta dan PKK pada tanggal 17 September 2019, dimana pada poin 4 disebutkan bahwa DPP APJATI melalui surat nomor 031/-BDPP-APJATI/IX/2019 tanggal 5 September 2019 telah memberitahukan bahwa di bawah koordinasi APJATI, perusahaan penempatan telah melakukan berbagai persiapan, pendataan dan lain sebagainya.
“Pertanyaannya, apa sepenting itukah APJATI sehingga asosiasi ini bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh Kemnakerl,” ungkapnya.
Belum lagi di dalam surat edaran itu juga disebutkan pada poin 6, Kemnaker melalui Dirjen Binapenta dan PKK lagi-lagi melalui fasilitasi oleh APJATI para perusahaan penempatan ini telah menunjuk PT. BUMI (Bursa Usaha Migran Indonesia) sebagai EO penyelenggara job fair guna menjaring calon-calon pekerja migran Indonesia. Padahal jelas disebutkan dalam UU no. 18/2017 bahwa perekrutan calon pekerja migran Indonesia dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Siapakah PT. BUMI ini? Benarkah fungsinya hanya sebagai EO penyelenggara job fair? Silahkan lihat susunan pengurus perusahaan tersebut yang tidak lain adalah perpanjangan tangan pengurus APJATI saat ini,” jelas dia.
Lebih lanjut Agus menegaskan, proses assessment yang sarat nuansa kolusi dilakukan oleh kementerian. Banyak bukti yang menunjukan bahwa kementerian telah menyimpang dari kepmen yang dibuatnya sendiri. Kepmen cacat materi, pelaksaanaannya pun cacat. Contoh kecil ada perusahaan yang belum berusia 5 (lima) tahun telah melakukan penempatan perorangan sebelum moratorium.
Atau perusahaan yang telah tidak ada data penempatan selama lebih 3 tahun, tapi memiliki neraca keuangan yang sehat. Ada juga perusahaan yang telah memutuskan tidak memperpanjang izin operasionalnya tapi demi SPSK diaktfikan kembali dan dipaksakan lulus assessment oleh kementerian yang kolusi dengan APJATI.
Dari hal-hal yang saya sebutkan di atas, lanjut Agus, ini saja sudah cukup seharusnya bagi KPK dan OMBUDSMAN untuk memeriksa kemungkinan adanya benih kolusi dan korupsi antara asosiasi, kementerian dan oknum didalamnya.
“Masalah penempatan pekerja migran ini sangat sensitif. Seharusnya Kementerian tidak mengeluarkan kebijakan apapun khususnya diakhir masa jabatan menteri saat ini. Apalagi yang akan ditempatkan adalah manusia, kok penempatan manusia coba-coba.� Atau bila penempatan ala SPSK ini dipaksakan harus berjalan, mohon kiranya KPK memberikan supervisi dalam pelaksaanaanya.
“Sebagai Koordinator Komite Milenial Anti Korupsi saya melihat banyak sekali keanehan dan sangat kental bau kolusi yang memiliki peluang korupsi didalam pelaksanaan program SPSK ini yang bisa saya buka. Seharusnya Kemnaker transparan didalam penyusunan teknis pelaksanaan dan tidak tergesa-gesa didalam mengeluarkan kebijakan atau aturan apapun yang berkaitan dengan SPSK ini. Publik akhirnya akan menilai, apakah benar SPSK ini harus dijalankan dengan cara-cara kotor dan tidak menjamin perlindungan pekerja migran namun hanya untuk mengeruk keuntungan semata, ataukah pemerintah betul-betul memikirkan perlindungan bagi warganegaranya,â€? tutup Agus.
Hasbi Syauqi