Jakarta, Ahad.co.id- Target tingkat partisipasi pemilih yang dipatok oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 77.5 persen terancam tidak tercapai.
Hal itu dapat dilihat dari masih minimnya pengetahuan pemilih soal kapan tepatnya hajat demokrasi 2019 itu secara tanggal dan bulan pelaksanaan. Begitu juga dengan sejumlah elemen teknis pendukung pada pelaksanaan pemilu 17 April 2019.
Diantaranya seperti teknis penggunaan suara, berapa jumlah kertas surat suara yang digunakan, warna jenis surat yang digunakan, jumlah kursi DPR RI yang diperebutkan, jumlah partai politik nasional yang ikut pemilihan legislatif, metode konversi suara menjadi kursi, besaran angka parliament threshold 4 persen, besaran angka president threshold 20 persen, berapa jumlah dapil RI, dan regulasi UU pemilu.
“Umumnya, pengetahuan pemilih soal elemen teknis tidak menggembirakan. Ini menjadi catatan serius jelang beberapa hari pelaksanaan pemilu 2019,� buka Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH), Dian Permata dalam Diskusi Catatan Kritis Pemilu 2019: Proyeksi, Partisipasi, dan Potret Pengetahuan Pemilih di di Jakarta, (07/04/2019).
Diungkapkan Dian, dari temuan riset bersama Founding Fathers House (FFH) dan Sindikasi Pemilu Demokrasi (SPD) diketahui, 94 persen pemilih sudah mengetahui adanya pelaksanaan pemilu. Dari 94 persen itu, hanya 57 persen yang dapat menyebutkan secara tepat tanggal dan pelaksanaannya—menggunakan teknik pertanyaan terbuka.
Sejumlah provinsi yang angka tingkat pengetahuannya rendah soal adanya pelaksanaan pemilu itu Jambi, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Papua. Sedangkan provinsi yang pemilihnya banyak tahu soal tanggal dan bulan pelaksanaan dengan tepat itu Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Maluku Utara.
Padahal kata Dian, tanggal 17 April 2019 sebagai tanggal pelaksanaan sudah mulai disosialisasikan sejak 25 April 2017. Kemudian, DPR menindaklanjuti dengan disahkannya UU 7/2017 pada Agustus 2017. Lalu, KPU merespon hal tersebut dengan menerbitkan sejumlah tahapan Pemilu 2019 dengan mengesahkan PKPU 32/2018 soal tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pemilu 2019.
“Dari sini kan sudah terlihat. 17 April 2019 sudah dimulai disosialisasikan 1.5 tahun lalu. Kemudian DPR dan KPU merespon dengan mengeluarkan sejumlah instrumen peraturan pendukungnya. Semestinya angka pengetahuan pemilih soal 17 April 2019 sudah tinggi bahkan sudah tinggi. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan polarisasi dukungan capres-cawapres,� jelas Dian.
Dari riset ini diketahui, 7.42 persen responden mengetahui coblos adalah teknis penggunaan surat suara. 37.5 persen mengetahui ada lima (5) jenis warna yang digunakan.
Sedangkan untuk pengetahuan soal regulasi pemilu UU 7/2017, jumlah kursi DPR RI yang diperebutkan caleg, metode suara menjadi kursi, jumlah Dapil Caleg RI, besaran angka Parliament Treshold, serta besaran President Treshold hanya di bawah l5 persen.
Begitu pula saat responden ditanyakan dengan teknik pertanyaan terbuka tentang warna surat yang digunakan. Hanya 9.5 persen yang tahu bahwa surat suara warna Hijau digunakan untuk pemilihan DPRD kabupaten/kota. 8.25 persen yang tahu bahwa surat suara warna Biru digunakan untuk pemilihan DPRD provinsi. 10.08 persen yang tahu bahwa surat suara warna Kuning digunakan untuk pemilihan DPR RI. 6.08 persen yang tahu bahwa surat suara warna Merah digunakan untuk pemilihan DPD. 19.25 persen yang tahu bahwa surat suara warna Abu-Abu digunakan untuk pemilihann presiden.
“Pengetahuan pemilih itu makin rendah apabila pertanyaan di atas tadi di balik dan menggunakan tekni pertanyaan terbuka. Seperti warna surat jenis pemilihan DPRD kabupaten/kota warna apa?,� katanya.
Bisa ditebak lanjut Dian, untuk yang menjawab dengan benar sesuai warna dan jenis pemilihan sangat kecil. 7.25 persen menjawab warna hijau untuk pemilihan DPRD kabupaten/kota. 6.42 persen menjawab warna Biru untuk pemilihan DPRD provinsi. 8.33 persen menjawab warna Kuning untuk pemilihan DPR RI. 3.5 persen menjawab warna Merah untuk pemilihan DPD.
16.25 persen menjawab warna Abu-abu untuk pemilihan presiden.
“Jika demikian maka pekerjaan rumah para calon legislatif makin besar. Selain mereka harus meningkatkan popularitas, mereka harus menanggung beban kerja sosiaslisasi penyelenggara pemilu yang tidak baik. Bisa ditebak, para caleg akan ngos-ngosan di lapangan,” ungkap Dian..
Direktur Eksekutif SPD August Mellaz, menyatakan, persoalan rendahnya pengetahuan pemilih menambah daftar pekerjaan rumah penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, sudah ada daftar masalah seperti daftar pemilih dan dana kampanye. Akibatnya, banyak pemerhati pemilu yang menilai bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 tidak lebih baik dari Pemilu 2014.
“Uang sudah diberikan lebih besar sampai 30 triliun. Waktu juga disiapkan lebih lama. Namun hasilnya yang didapat tidak siginifikan,� kata dia.
Survei dilaksanakan medio Januari-Maret 2019. Menggunakan metodologi multistage random sampoling. 1200 responden. Responden sudah punya hak pilih atau sudah pernah menikah dan bukan TNI/Polri aktif. Tingkat kepercayaan 95 persen. Margin of Error 2.8 persen. Wawancara tatap muka dengan bantuan kuisioner.
Hasbi Syauqi