Depok, AHAD.CO.ID- Presiden Komite Nasional Solidaritas Rohingya (KNSR) Syuhelmaidi Syukur mengatakan setidaknya ada tujuh poin penting terkait persoalan Rohingya. Hal tersebut diungkapkan dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Roadmap Advokasi Rohingya KNSR di Wisma Makara Universitas Indonesia (UI) Depok, Rabu (27/12).
“Yang pertama kekerasan di Rohingya harus segera dihentikan, bila perlu tempatkan pasukan perdamaian PBB untuk menyelesaikan konflik secara menyeluruh,” ungkap Syuhelmaidi.
Selain itu, KNSR juga meminta dibukanya akses bantuan operasi kemanusiaan seluas-luasnya khususnya di wilayah konflik. Ketiga perlu adanya program darurat penyelamatan pengungsi untuk menurunkan resiko penyakit dan kematian massal.
“Keempat, untuk tempat pengungsian yang tidak layak perlu segera direlokasi dan dibangun shelter yang lebih layak,” imbuhnya.
Kelima perlu adanya program pemberdayaan dan kemendirian hidu pengungsi untuk jangka panjang. Keenam pemulihan wilayah konflik yang sampai saat ini belum terakses oleh lembaga kemanusiaan dunia.
“Yang terakhir persiapkan repatriasi pengungsi untuk kembali ke kampung halamannya di Rakhine, Myanmar,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Program Studi Hubungan Internasional UI, Shofwan Al Banna menegaskan, problem utama Rohingya adalah negara-negara dunia enggan mendifinisikan bahwa masalah yang sebenarnya terjadi adalah kejahatan kemanusiaan.
“Myanmar berhasil menggiring isu dan menjaga definisi permasalahan Rohingya sesuai kemauan mereka, bahkan soal ini negara-negara ASEAN tak dapat berbuat apa-apa,” katanya.
Lebih lanjut Shofwan mengungkapkan, resolusi Majelis Umum PBB soal Rohingya yang meminta Pemerintah Myanmar membuka akses kemanusiaan ditentang oleh Rusia, China, dan empat negara ASEAN yakni Laos, Kamboja, Vietnam, Filipina.
“Karena menurut mereka ini merupakan problem domestik Myanmar soal pemberontakan,” ungkap Shofwan. Menurutnya, soal Rohingya membutuhkan kekuatan dari negara, yang secara resmi berani menegaskan Pemerintah Myanmar telah berbuat kejahatan kemanusiaan.
“Solusinya dengan mengkonversi solidaritas non-negara menjadi solidaritas di negara. Karena semua advokasi internasional yang berhasil, di Sudan misalnya, terjadi ketika ada negara yg mengambil sikap. Di rohingya kenapa hari ini belum berhasil karena tidak ada state champaign. Indonesia awalnya diharapkan, eh tetapi memilih soft diplomacy,” jelasnya.
Senada dengan Shofwan, Dosen hukum HAM UI, Heru Susetyo mengatakan dalam persoalan Rohingya, ASEAN tidak memiliki kekuatan, OKI juga hanya sekadar mengutuk.
“Padahal kekerasan makin parah di bawah rezim militer. Penghentian kekerasan adalah hal yang harus dilakukan. Myanmar bertangung jawab menghentikan ini,” katanya.
Berdasarkan penelitiannya, Heru mengungkapkan telah ditemukan unsur-unsur genosida dan pembersihan etnis terhadap orang-orang Rohingya.
“Yang saya pahami ada unsur genocide dan crime against humanitiy. Ini soal isu kemanusiaan. Mereka ditindas karena perbedaan. Beda warna kulit, bahasa agama dan sejarah yang berbeda,” ungkapnnya.
Selain itu, persoalan utama dari persoalan Rohingya menurutnya adalah ketiadaaan status kewarganegaraan. Ini merupakan pangkal masalah karena tidak ada negara yang mau mengakui etnis Rohingya.
“Masalah ketika mereka stay di negara ketiga, sangat sulit mendapatkan penempatan di negara ketiga. Mereka jadi frustasi karena tak mendapat kewarganegaraan dan penempatan,” jelasnya.
Padahal, lanjut Heru, sebagian besar diaspora Rohingya yang ditemuinya di berbagai negera ingin kembali ke Rakhine, “karena itu tanah air kami kata mereka,” imbuhnya.
Peran Indonesia sangat signifikan sebagai negara yang dominan pengaruhnya di ASEAN. Hanya persoalannya, bagaimana pengaruh itu dapat dikelola dengan baik. Menurut Heru pendekatan Menlu Indonesia dan Presiden Jokowi cukup menarik misalnya dengan membangun sekolah dan lain-lain.
“Tapi advokasi untuk mengembalikan keadilan juga harus dilakukan. Harus jalan keduanya,” kata dia.
Hadir dalam FGD Penyusunan Roadmap Advokasi Rohingya berbagai NGO yang tergabung di bawah KNSR, juga perwakilan Amnesty Internasional, Tim Pencari Fakta Rohingya PBB serta para akademisi.
DUDY S.TAKDIR | DANIEL AMRULLAH