Oleh KH. Muhammad Najih Maimoen
Pengasuh Ribath Darussohihain, Sarang-Rembang
AHAD.CO.ID- Kami sangat prihatin dengan keputusan Forum Sidang Komisi Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Maudluiyah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2017 di Lombok Nusa Tenggara Barat yang disampaikan oleh Mahbub Maafi selaku Wakil Sekretaris LBM PBNU, yang mengharamkan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik untuk kepentingan apa pun, termasuk tujuan kebaikan dan amar ma’ruf nahi munkar. (Republika, Jum’at 24 November 2017)
Sejak diwacanakannya, UU ITE sudah terjadi pro dan kontra, namun anehnya sudah disertai dengan beberapa penangkapan atas dugaan penyebaran dan pencemaran nama baik tanpa menjelaskan identifikasi faktual antara kritik dan ujaran kebencian. Kalau diteruskan, UU ini akan dibuat alat untuk mengebiri dan mematikan amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Mereka akan menangkap para ulama dan habaib yang berdakwah dan mengkritisi kebijakan pemerintah.
Ketidakjelasan definisi tersebut rawan memunculkan tafsir ambigu yang diterjemahkan sesuai dengan keinginan dan selera mereka. Padahal, kalau mau jujur dan melihat akar permasalahan sebenarnya, munculnya ujaran kebencian, terutama di media adalah dikarenakan adanya suatu sebab dan tanpa adanya rekayasa.
Banyak potensi UU tersebut akan mereka gunakan sebagai alat kriminilisasi, sebagai alat untuk memojokkan kelompok-kelompok tertentu sekaligus melindungi kelompok yang lain, digunakan untuk alat politik bagi penguasa untuk kepentingan-kepentingan yang pragmatis, digunakan untuk melindungi, memelihara kemaksiatan dan kepentingan-kepentingan para koruptor.
Keputusan forum Munas tersebut jelas akan menimbulkan gejolak dan reaksi umat Islam dan akan melahirkan stigma negatif bahwa forum tersebut telah bekerja sama dan mendukung UU yang sarat dengan rekayasa. Secara tidak langsung para kiai dan tokoh yang tergabung dalam forum tersebut ikut andil dalam merawat kemungkaran dan membungkam amar ma’ruf nahi mungkar.
Menurut Mahbub Ma’afi, alasan diharamkannya ujar kebencian adalah karena hal tersebut termasuk akhlaq madzmumah, dan untuk hifdhul ‘Irdl. Menurut kami, Apakah hifdlul ‘Irdl menurut NU era Sa’id Aqil di atas hifdluddin? Apakah kita menjelaskan kesesatan syirik, kufur, bid’ah, Syi’ah; dan kebiadaban Iblis, Syaithan, Zionis, Kapitalis, Komunis; Kemurtadan Ahmadiyah dsb; kejahatan Korupsi, Sodomi, Prostitusi, ulah-ulah anak Punk, Gangster; bahaya Narkoba, Miras, Judi dll dan para bos, cukong -Yang rata-rata orang Aseng- dan backing-backingnya, itu termasuk “Ujaran Kebencian”? bukankah itu semua merupakan ajaran agama dan undang-undang negara kita, yang katanya anti penjajahan, yang katanya bersila kemanusiaan yang adil beradab, bahkan katanya bersila ketuhanan yang Maha Esa?! Dan apakah keputusan forum sidang komisi BM Munas NU ini memang bertujuan untuk memuluskan semaraknya kristenisasi dan komunisasi secara besar-besaran?
Apakah kiai-kiai tersebut lupa atau sengaja dilupakan atau pura-pura lupa dengan beberapa musibah yang menimpa umat Islam saat ini, mulai dari UU Pilkada (Presidential Threshold), Perppu Ormas, masuknya aliran kepercayaan dalam KTP yang secara subtansi membatasi umat Islam dalam berdakwah dan berkiprah di kancah nasional. Namun malah mereka justru ikut menambah musibah tersebut dengan mendukung UU ITE yang merupakan ‘pesanan’ dari Zionis, Salibis dan Komunis.
Mestinya, kita prihatin dengan keadaan bangsa dan umat saat ini. Kemungkaran tidak hanya terjadi pada skala individu atau kelompok kecil. Korupsi bukan lagi dilakukan oleh sebagian penguasa namun sudah merambak mulai dari penguasa atas sampai bawah, minuman keras dan narkoba menyebar di masyarakat, pornografi dan pornoaksi dengan mudahnya diakses setiap orang, perzinaan, klub, kafe, bar, warung remang-remang bertebaran dimana-mana, tidak hanya di kota-kota besar saja. Kerusakan etika dan moral menjadi pemandangan sehari-hari.
Masihkah kita diam bahkan bungkam mulut terhadap kemunkaran yang merajalela?! Bukankah kita disuruh untuk nahi anil munkar dan membenci kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk menjadi orang benar, sebagaimana firman Allah SWT :
[وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ [الحجرات :7]
“Dan menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”
Bukankah kemunkaran yang sudah terlalu banyak seperti prostitusi di depan mata yang marak terjadi di hotel-hotel, diskotik, bar, karaoke, Reklamasi Jakarta yang nanti akan dibuat tempat maksiat besar-besaran seperti hotel alexis, adalah merupakan kezhaliman bagi umat Islam, yang menjadi alasan diperbolehkan bersuara lantang menghujat keburukan-keburukan tersebut? Sebagaimana Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا [النساء : 148]
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَا غِيْبَةَ لِفَاسِقٍ (رواه الترمذي)
“Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada dosa menggunjing (kefasikan) orang fasiq” (HR. at-Tirmidzi)
UU tersebut merupakan bentuk kediktatoran penguasa kepada umat islam. Statement salah satu ketua umum partai dalam pidatonya pada acara HUT PDI-P yang tidak mengakui adanya Hari Kiamat merupakan pelanggaran luar biasa, namun saat sampai ini, tidak ada satupun hukum yang menyentuhnya. Terbukti kalau omongan kasar dari mereka tidak dianggap “ujar kebencian”, akan tetapi kalau dari kita umat Islam, ketika mengungkapkan ajaran al-Qur’an, seperti kesesatan syirik dan seterusnya mereka beramai-ramai mengkroyok kita menganggap sebagai pengujar kebencian. Ada apa ini? Mana keadilan yang mereka gembor-gemborkan?. beginilah nasib bangsa kita yang sinis kepada taqwallah, kejujuran, dan lebih condong dengan abangan dan kemunafikan. Innalillahi wa inna ilahi raji’un.
Sarang, 7 Rabi’ul Awal 1439 H