AHAD.CO.ID- Seperti gurunya as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki di Makkah, KH Muhammad Najih Maimoen atau yang biasa disapa dengan panggilan Gus Najih dikenal sebagai sosok yang tegas, terlebih dalam hal akidah. Lebih dari 40 buku dan kitab ditulisnya untuk menyoroti pemahaman menyimpang seperti liberalisme dan pluralisme. Di antara buku yang sempat membuat heboh berjudul “Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU”.
“Ini merupakan ikhtiar agar masyarakat mengerti bahwa paham liberal ini sangat berbahaya. Walisongo dulu itu mengislamkan orang-orang Jawa, sekarang orang liberal kok ingin melunturkan Islam orang-orang Jawa, ini ikut siapa?,” kata Gus Najih saat menerima Tim Ekspedisi Jejak Walisongo AHAD.CO.ID yang didukung Laznas BSM Umat, Selasa (5/9) malam di Ribath Darus Shohihain, Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang-Rembang.
Kendati berasal dari trah ulama NU yang sangat disegani, Gus Najih menolak untuk masuk ke dalam struktur. “Santri itu lebih selamat kalau mandiri, ngajar ngaji saja tidak perlu ikutan organisasi,” imbuhnya. Sikapnya bukan tanpa alasan, Gus Najih melihat orang-orang yang masuk ke dalam organisasi akhirnya tidak dapat menjaga pemahaman yang lurus, sehingga ikut arus menjadi liberal, atau minimal mengamini perkataan-perkataan liberalis.
Menurut Gus Najih, ide-ide tentang liberalisme dan pluralisme merupakan salah satu strategi Barat untuk menghadang laju perkembangan Islam. Selain itu juga ada persoalan uang yang menurutnya menjadi bahan bakar para liberalis mempromosikan agendanya. “Liberal-liberal ini kan cari uang dari sponsor, saya tahu siapa sponsornya, dari mana uangnya,” tegasnya.
Selain itu, dia juga meyayangkan sikap kaum liberal yang justru seringkali menuduh umat Islam yang berpegang teguh terhadap ajarannya sebagai kaum yang intoleran dan penebar kebencian. Padahal, lanjutnya, Umat Islam di Indonesia sudah sangat toleran. “Kita perlu meluruskan makna toleransi, apa kiai ceramah di gereja, atau memanggil pastur untuk memberi mauidzah di depan umat Islam atau doa bersama lintas agama itu yang disebut toleran? Kalau begitu agama campursari namanya, bukan toleransi,” katanya.
Toleransi itu cukup pada wilayah muamalah, misalnya bertetangga dengan non muslim atau berjual-beli dengan non muslim. “Tidak perlu masuk ke wilayah akidah. Toleransi yang benar ya begitu itu. Kita saling menghormati dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945, tidak menyerang mereka,” jelas Gus Najih.
Walau demikian keras menentang kelompok liberal lewat dalil-dalil dari kitab ulama terdahulu, Gus Najih masih berbaik sangka kepada para liberalis, khususnya mereka yang berasal dari Pondok Pesantren. “Semoga apa yang mereka bicarakan itu tidak betul-betul keluar dari hatinya agar tidak jatuh terhadap kekufuran. Kok saya melihat, orang-orang liberal itu kalau sudah kembali ke Pesantren jadi lurus lagi, mungkin itu doanya para kiai, berkahnya juga bacaan wirid, diba’an dan maulidan,” katanya.
Belajar Hadits hingga Haramain
Matahari sudah hampir tenggelam saat Tim Ekspedisi Jejak Walisongo AHAD.CO.ID tiba di Pondok Pesantren Al Anwar, yang berada persis di bibir pantai Sarang, Rembang. Nuansa kampung nelayan berpadu dengan pesantren, agak sulit membedakan mana santri dan mana penduduk setempat, karena semua berpakaian sama, berkopiah hitam dan mengenakan kain sarung.
“Mohon ditunggu ya, Abah Najih -demikian beliau disapa oleh santrinya- masih ngajar,” kata Kang Mahfud, salah seorang santri yang menjadi khadam (pelayan) Gus Najih. Menurut Kang Mahfud, aktivitas keseharian Gus Najih sangat padat, waktunya diisi dengan mengajar para santri. “Tapi alhamdulillah beliau berkenan menerima tim AHAD,” sambungnya.
Dari berbagai sumber yang kami himpun, Gus Najih merupakan putra kedua Syaikhina Maimoen Zubair. Lahir di Sarang Sabtu Kliwon, 27 Rabiul Awwal 1383 H yang bertepatan dengan 17 Agustus 1963 M . Nama Muhammad Najih konon terinspirasi dari nama seorang ulama Jawa Timur yang sangat alim.
Gus Najih kecil dikenal sebagai sosok yang sangat bersungguh-sungguh belajar ilmu agama, sehingga diantara teman-teman yang lain, beliau sangat menonjol keilmuannya. Selain itu, Gus Najih dikenal sebagai santri yang ‘alim.
Kiai Abdul Ghoni Mannan pernah memberikan kesaksian, “Gus Najih waktu masih kecil itu kalau berangkat ke madrasah selalu pagi-pagi sekali, alasannya agar tidak melihat perempuan di jalan. Tapi walaupun berangkat pagi-pagi, terkadang masih juga bertemu dengan perempuan, beliau biasanya nangis menyesal kalau sampai bertemu perempuan di jalan,” katanya.
Sang kakek, KH. Zubair Dahlan sangat menyayangi beliau, karena mulai kecil sudah terlihat tanda-tanda akan menjadi seorang ulama yang gigih memperjuangkan Islam. Hingga sampai suatu hari, saat ulama besar dari Makkah, Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki berkunjung ke Indonesia dan bermukim di Malang. Selama bermukim di Malang, Sayyid Muhammad banyak mengajarkan kitab-kitab salaf, yang pesertanya banyak dari kalangan para santri, di antaranya adalah Gus Najih. Hingga suatu hari Sayyid menunjuk Gus Najih untuk menjadi muridnya di Makkah.
Akhirnya pada tahun 1982 beliaupun berangkat ke tanah suci Makkah untuk menutut ilmu agama dan memperdalam ilmu hadits. Selain belajar, selama di Makkah Gus Najih dikenal setia berkhidmah pada gurunya.
As Syaikh As Sayyid Hamd ‘Abdul Karim Al Husainy, pengarang kitab “Imamu Daril Bi’tsah”, menyebutkan di bagian akhir dalam kitabnya (Hal. 254) : “Di antara murid-murid As Sayyid Muhammad yang tampak dan unggul dalam keilmuan ada 7 orang, salah satunya adalah As Syaikh Najih bin Maimoen Zubair Al Jawiy.”
Sekembalinya dari Makkah, Gus Najih langsung membantu sang ayah mengembangkan pesantren Al Anwar. Melihat ilmu yang mumpuni, oleh sang ayah pada tahun 1995 Gus Najih diamanati membimbing dan mengasuh salah satu tempat khos di PP Al Anwar, khos itu bernama Darus Shohihain, sesuai dengan kecintaan Gus Najih pada ilmu hadits.
DUDY SYA’BANI TAKDIR | ISMAIL AL ALAM | TIM EKSPEDISI JEJAK WALISONGO