Oleh Teddy Yusuf
Dosen Lingustik UIN Bandung
AHAD.CO.ID- Teks tidaklah melulu lambang-lambang linguistik; sekelompok segmen bunyi atau lambang bunyi mengikuti kaidah-kaidah fonotaktik. Teks bisa apapun yang hadir menyentuh indra kita. Apapun bisa menjadi teks sepanjang bisa didengar, dilihat, dirasa, disentuh atau dihirup. Apalagi cuma seonggok patung yang berdiri gagah perkasa.
The signifier is the material form, i.e., something that can be heard, seen, smelled, touched or tasted, whereas the signified is the mental concept associated with it.
Seonggok patung yang berdiri di Timur sana adalah sebuah teks. Meminjam istilahnya Saussure kita sebut sebagai signifier.
Setiap teks mestilah memiliki beban makna, tidak ada teks yang berdiri sendiri, lepas dari pesan yang diembannya. Tanda dan kesadaran mengenai tanda adalah satu kesatuan, satu paket.
Bagi sekelompok orang, kehadiran patung tersebut telah menyentuh bagian seksi, yaitu kesadaran kolektif historis.
Kita sebut wilayah ini sebagai Signified meminjam istilahnya Saussure.
Kehadiran patung itu dimaknai sebagai â€?penaklukan,’ Sekalipun makna itu subjektif dan seringkali multi tafsir. Tetapi yang bisa kita sepakati adalah makna itu milik dari kesadaran penutur, sangat spontan dan ‘sulit’ dinegosiasikan.
Bagi setiap orang yang faham sejarah (kesadaran kolektif historis), kehadiran patung di timur Jawa tersebut telah menyalahi realitas sejarah, dimana utusan dari China tidak pernah menaklukan Jawa sebelah Timur, yang terjadi justru mereka dikalahkan oleh Ranggalawe dan pasukannya.
Tentu saja kesadaran penutur (signified) dari sekelompok orang ini, belum tentu simetris dengan kesadaran penutur dari kelompok si pembuat patung. Artinya boleh jadi pembangunan patung tersebut merupakan bagian dari keyakinan mereka, yang harus kita hormati.
Tetapi sekali lagi, pembangunan patung yang sangat megah
dengan corak yang tidak pribumi, plus dengan ketinggian yang melampaui patung patung yang sudah ada (signifier), ini bisa menimbulkan makna atau tafsir (signified) yang berbeda bagi sekelompok orang yang lain, apalagi secara historis tidak pernah ada penaklukan China atas Majapahit.
�Konflik’ signified yang berlangsung dalam kesadaran sekelompok orang ini mungkin tidak akan terjadi jika patung tersebut dibangun dengan ketinggian 3 cm atau 3 meter. Masalah ketinggian dan besarnya patung menjadi sensitif karena ini masuk wilayah KOMPETISI. Orang kemudian menjadi bertanya, kenapa ketingggiannya melampaui patung yang disekitarnya?
Karena kita tahu bahwa setiap tindakan selalu disertai oleh motivasi.
Damai Indonesiaku. Barakallah.
*Isi tulisan dalam rubrik Mimbar sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, tidak mencerminkan pandangan redaksi AHAD.CO.ID. Jika anda memiliki opini terkait persoalan-persoalan terkini, silakan kirimkan tulisan anda ke redaksi@ahad.co.id