Oleh Tjahja Gunawan
Pemimpin Redaksi AHAD.CO.ID
AHAD.CO.ID- Di era Orde Baru, dasar negara Pancasila ditempatkan di atas segala-galanya. Oleh karenanya tidak heran jika waktu itu seluruh organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik, wajib mencantumkan Pancasila sebagai azas tunggal dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi.
Demikian pula bagi masyarakat umum lainnya, diwajibkan untuk mengikuti berbagai program penataran Pancasila atau lebih dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Waktu itu Pancasila lebih banyak dijadikan sebagai alat kekuasaan oleh rezim Orde Baru ketimbang sebagai rumusan ajeg dari way of life dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Ketika itu Ormas dan Parpol Islam yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai azas tunggal Pancasila dalam AD/ART nya, dianggap “bersalah” dan dicap sebagai musuh negara.
Seluruh pegawai negeri, ABRI serta mahasiswa diwajibkan ikut berbagai program penataran P4. Kini Pancasila seolah hendak kembali dijadikan alat politik oleh rezim penguasa.
Pada hari Rabu pekan lalu (7/6), Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang terdiri dari sembilan orang Dewan Pengarah dan satu orang Eksekutif. Pelantikan orang-orang yang duduk dalam organisasi baru itu dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden Nomor 31m Tahun 2017.
Sembilan orang Dewan Pengarah UKP PIP terdiri dari Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmad Syafii Ma’arif, Said Agil Sieradj, Ma’ruf Amin, Muhammad Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenaya. Sedangkan Eksekutif UKP PIP adalah Yudi Latief.
Sejauh ini masyarakat tidak mendapat penjelasan dan informasi yang jelas dan lengkap tentang alasan dan latar belakang ditetapkannya orang-orang yang duduk dalam UKP PIP itu. Namun, asumsinya mereka adalah yang “paling paham tentang Pancasila”.
Tapi lagi-lagi kalau benar Pancasila mau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, apakah pantas jika orang yang memiliki masalah dalam keluarganya lalu ditempatkan sebagai Dewan Pengarah UKP PIP ?.
Setelah pembentukan UKP PIP, serentak ditebar berbagai iklan, spanduk dan ujaran di media sosial dengan tagline yang berbunyi, “Saya Pancasila, Saya Indonesia”.
Di rezim Orde Baru, Pancasila digunakan sebagai pembenaran menggebuk yang berbau komunis. Sekarang di era Presiden Jokowi, Pancasila lebih banyak dibenturkan dan dihadap-hadapkan dengan kaum Agamis Islam.
Menurut Ahli hukum tata negara, Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra, kondisi ini tidak sehat dan tidak baik. Yang merasa dirinya nasionalis tidak boleh merasa bahwa dirinyalah Pancasila.
Saat ini, demikian ditegaskan oleh Yusril, Pancasila seolah hanya menjadi milik kaum yang merasa dirinya Nasionalis. Bahkan Pancasila digunakan sebagai alat pembenaran untuk menggebuk, dan yang digebuk justru dari kalangan agamis yang dulunya adalah bagian dari kompromi lahirnya Pancasila.
Kalau kita melihat sejarah, dulu 1 Juni 1964 diperingati juga sebagai hari lahirnya Pancasila.
Saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat berpengaruh karena PKI adalah parpol yg memenangkan pemilu. Yang mengusulkan hari Pancasila kepada Soemarno para waktu itu adalah PKI.
Ada sebuah buku dari DN Aidit yang berjudul “MEMBELA PANTJASILA” yang terbit pada tahun 1964. Aidit yang ngotot menjadikan 1 Juni 1964 sebagai Hari Pancasila. Namun setahun kemudian Aidit juga yg berkhianat kepada Pancasila.
Modus dengan berkata cinta Pancasila, padahal sedikitpun dia tidak akan pernah menjalani nilai Pancasila. Bahkan dia justru yang merongrong Pancasila.
Sekarang, peristiswa sejarah tahun 1964 itu seperti terulang kembali. Saat ini ada sekelompok orang merasa Pancasila sekali dan suka berteriak bahwa mereka Pancasila dan Indonesia.
Oleh karena itu, bagi masyarakat yang masih memiliki akal pikiran sehat perlu mewaspadai adanya gerakan Pancasila yang hanya dijadikan sebagai komoditas politik, sebab dulu kita pernah mengalaminya.