Oleh Asyari Usman
Mantan wartawan senior BBC*
AHAD.CO.ID- Hingga hari ini, belum ada pertanda polarisasi di tengah masyarakat sebagai rentetan dari pilkada Jakarta, akan berakhir. Sebetulnya ada figur yang bisa berperan untuk mematri kembali keretakan itu. Dialah Kepala Negara.
Sebagai Kepala Negara, Presiden Jokowi bisa menciptakan rekonsiliasi. Perpecahan atau polarisasi yang menjangkiti masyarakat akhir-akhir ini sebetulnya 100 persen tergantung langkah-langkah yang diambil Presiden. Kalau beliau mengadopsi nasihat “the hawkish” yang ada di sekitarnya, maka eskalasi polarisasi itu akan menjadi-jadi. Dan, inilah yang sedang “online”.
Sebaliknya, kalau Presiden instinktif dan intuitif, seharusnya situasi bisa terjinakkan sejak awal; jauh sebelum berlangsung aksi-aksi damai kaum muslimin yang kemudian “terasa” intoleran. Tidak perlu sampai seperti sekarang ini. Tapi, semua sudah berlalu. Dan sebagai orang yang memiliki keyakinan spiritual, kita kembalikan saja ini kepada qadha (kehendak) Yang Maha Kuasa.
Namun demikian, bukan berarti setelah terlanjur mengadopsi nasihat “the hawkish” (kata ini lebih kurang bisa diartikan “galak” ) itu, Presiden tidak bisa mengusahakan solusi damai. Tentu bisa. Sebab, hingga saat ini Pak Jokowi masih duduk sebagai Kepala Negara untuk semua orang, semua gologan. Beliau bisa merangkul semua orang, berdialog dengan saiapa saja.
Kecuali beliau sendiri merasa bahwa dirinya adalah Kepala Negara untuk orang-orang yang hanya sependapat dengan beliau. Kalau begini, tentulah menjadi deadlock. Buntu. Posisi seperti ini hanya akan memfasilitasi perpecahan.
Kita bertanya, adakah pertanda Pak Jokowi menunjukkan bahwa dia tidak sudi menjadi Kepala Negara untuk orang-orang yang berseberangan dengan beliau?
Jawaban cepatnya, Allahu a’lam. Jawab panjangnya, bisa jadi juga seperti itu karena isyarat yang terbaca dari Pak Jokowi sejauh ini adalah bahwa beliau ingin mengeliminasi semua orang yang tak sependapat dengan beliau.
Lihat saja cara kerja kepolisian. Polri adalah lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Mereka mengejar orang-orang yang berpotensi merintangi Pak Jokowi di pilpres 2019. Dengan segala cara. Misalnya, Habib Riziq Shihab (HRS) yang dianggap sebagai “komandan” yang menjatuhkan Ahok, yang bisa saja menjadi rintangan ke dapan.
Polisi melakukan apa saja, termasuk yang aneh-aneh dari segi proses penegakan hukum. Agar HRS masuk penjara. Apa mungkin Kapolri menjalankan misi seperti ini tanpa restu Pak Jokowi?
Jadi, eliminasi lawan yang potensial, memang menjadi pilihan. Sebaliknya, rekonsiliasi ditutup. Tentu ini adalah hak prerogatif Presiden. Cuma, sulit dipahami mengapa beliau mengambil jalan yang akan merobek-robek kenegarawanan beliau sendiri.
Eskpektasi rakyat dari seorang negarawan adalah bahwa beliau itu tidak lagi berpikir lokal atau regional. Dia memikirkan masalah negara. Kalau kembali ke kasus kekalahan Ahok sebagai contoh, maka seorang negarawan akan memikirkan mengapa rakyatnya sampai menolak orang “sepintar” Ahok.
Seorang negawaran tidak mau terjebak ke dalam pertikaian di seputar kegagalan orang yang difavoritkannya. Apalagi terjebak ke dalam politik balas dendam. Seorang negarawan tidak mengenal kosakata “sakit hati”. Dia berpikir jauh di balik itu.
Kecuali Pak Jokowi diam-diam berkaca dan berkata dalam hati, “Aku bukan negarawan”. Ini tak masuk akal. Karena, begitu menjadi presiden, Pak Jokowi sekaligus menyandang predikat “negarawan”. Tapi, dikatakan tak masuk akal, yang terjadi malah sebaliknya.
Kita berharap Pak Jokowi adalah seorang negarawan tulen. Sehingga, kalau pun Irjen Mochamad Iriawan sangat bersemangat untuk menjerat HRS dengan kasus sekelas urusan Polsek itu, biarlah orang menilai bahwa Kapolda Metro itu sedang bersensasi. Mungkin untuk naik pangkat. Mungkin juga ada tujuan lain.
*Penulis adalah mantan wartawan BBC. Artikel ini opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC