AHAD.CO.ID- Ada sebuah perlombaan yang seolah wajib pada setiap perayaan hari kemerdekaan Indonesia, panjat pinang namanya. Permainan yang mengandalkan kerja sama ini dijadikan ikon perlombaan hampir di setiap lingkungan. Tapi ternyata, sejarah panjat pinang cukup kelam.
Syahdan, pada masa Hindia Belanda, saat para tuan tanah dan saudagar dari negeri kincir angin mengadakan pesta, perayaan pernikahan misalnya, mereka biasa menggelarnya dengan sangat mewah. Berbagai hiburan dan penganan tersedia. Tapi yang boleh menikmatinya tentu hanya golongan mereka saja.
Adapun pribumi, hanya boleh menjadi penonton sembari menelan ludah melihat hidangan yang ada dari kejauhan. Dari antusiasme pribumi saat menonton pesta orang Belanda, tercetuslah ide untuk mengadaptasi permainan dari negara asal mereka yang bernama “De Klimmast” yang berati panjang tiang. Permainan yang sama dengan panjat pinang.
Namun bedanya, saat dibawa ke negeri kita, tak satupun orang Belanda yang bermain. Mereka “memberikan kesempatan” kepada pribumi, untuk berlomba-lomba memanjat batang pohon pinang. Memperebutkan hadiah seperti karung makanan, kemeja, dan celana yang saat itu memang jadi barang mewah untuk kelompok bumi putera.
Sementara kaum pribumi saling injak dan berlumuran lumpur berebut hadiah, orang-orang Belanda berkumpul menertawakan. Mereka tertawa melihat pribumi saling injak untuk hal yang tidak berharga menurut orang-orang Eropa.
Berdasarkan hasil penelitian Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia, bukti panjat pinang telah ada di Indonesia sejak zaman Belanda didapatkannya dari beberapa foto saat melakukan riset pada koleksi di Museum Tropen, Belanda. Foto tersebut diambil antara tahun 1917-an hingga kurun tahun 1930-an. Namun tidak ada orang Eropa di Hindia Belanda saat itu (setidaknya dari beberapa sumber foto tersebut) yang melakukan panjat pinang.
Panjat pinang zaman dulu seolah menjadi penanda perbedaan kasta antara pribumi dan orang Eropa di Hindia Belanda. Karena itu, mengingat latar belakang sejarahnya, beberapa sejarawan dan pegiat budaya sejak tahun 2000-an hingga kini mengusulkan panjat pinang dihapuskan dari lomba perayaan hari kemerdekaan Indonesia.
Kendati demikian, tetap ada nilai-nilai kebaikan dalam perlombaan panjat pinang. Terlepas dari latar belakang sejarah dan diskusi soal haruskah panjat pinang tetap diperlombakan, mengisi kemerdekaan dengan berbagai hal positif mutlak kita lakukan.
Kita tidak bisa membiarkan lebih lama lagi negeri ini berduka. Sebagai bangsa, persatuan kita centang perenang, ego kesukuan dan golongan lebih dominan ketimbang rasa persaudaraan. Maka tak heran jika kita sangat mudah tersulut dan terjebak dalam konflik sektarian.
Sebagai umat, pekerjaan rumah kita juga sangat banyak. Mulai dari membangkitkan lagi kepercayaan diri sebagai umat yang hebat hingga pekerjaan berat membangun kembali persatuan umat yang terkoyak.
Kendati jumlah kita banyak, tapi kita seolah terjebak dalam inferioty complex, kita merasa minder dan tidak percaya diri, salah satu buktinya kita selalu merasa orang-orang sedang berkomplot untuk menikam umat ini dari belakang.
Perbedaan pendapat juga seringkali membuat kita sebagai umat berjauhan, ucapan salam tak lagi dibalas hanya karena berbeda tempat pengajian. Sungguh, perilaku seperti itu jauh dari tuntunan salafuna shalihin. Bahkan bisa jadi, tindakan kita yang seringkali membesar-besarkan perbedaan pendapat dalam hal remeh temeh, membuat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersedih.
Jangan sampai sejarah kelam panjat pinang terulang, kita sebagai bangsa juga sebagai umat saling injak untuk hal yang tidak terlalu berharga, dan mereka yang menginginkan Indonesia dan Islam tenggelam bertepuk tangan sembari tertawa.
Pekerjaan berat menyulam kembali keberagamaan dan keindonesiaan ini harus kita lakukan mulai sekarang, sebagai tanggung jawab atas warisan kemerdekaan yang telah diberikan oleh para pahlawan.
DUDY SYA’BANI TAKDIR
Redaktur Eksekutif AHAD.CO.ID