Beranda Berita Halimah Yacob, Presiden Muslimah Pertama Singapura

Halimah Yacob, Presiden Muslimah Pertama Singapura

BERBAGI
Halimah Yacob/Ist
Jakarta, AHAD.CO.ID- Singapura akan memiliki presiden pertama wanita dan muslimah. Halimah Yacob akan menjadi presiden kedelapan Singapura yang akan dilantik pekan ini, dia berasal dari komunitas Melayu.
Mantan ketua parlemen berusia 63 tahun itu merupakan satu-satunya calon presiden yang dinyatakan berhak mengikuti pemilihan oleh Komite Pemilihan Presiden (PEC) pada Senin (11/9).
Pemilu presiden Singapura sedianya digelar pekan kedua September 2017. Namun, lantaran Halimah menjadi kandidat tunggal, dia dipastikan jadi presiden tanpa pemungutan suara.
“Apakah ada pemilihan atau tidak, semangat dan komitmen saya untuk melayani rakyat Singapura tetap sama,” katanya Halimah, Selasa (12/9).
Dia mendapatkan sertifikat kelayakan dari Departemen Pemilihan, tidak lama setelah menyaksikan pemilihan penggantinya di parlemen.
Komisi Konstitusi merekomendasikan perubahan untuk menjamin keterwakilan minoritas di lembaga tertinggi di negara tersebut dan juga untuk memperketat kriteria kelayakan seseorang menjadi presiden sesuai dengan pertumbuhan ekonomi.
Setelah memegang jabatan publik utama, yaitu ketua parlemen sejak 2013, Halimah adalah satu-satunya dari tiga calon bersuku Melayu yang secara otomatis memenuhi syarat mencalonkan diri.
PEC menginformasikan kepada dua kandidat lainnya, Farid Khan (61) dan chief executive perusahaan properti Salleh Marican (67) bahwa mereka tidak memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan presiden.
Proses pemilihan presiden kali ini menimbulkan reaksi beragam dari para pengamat, yang menyambut Halimah sebagai sejarah dengan menjadi presiden wanita pertama negara itu dan kepala negara Melayu pertama dalam 47 tahun terakhir.
“Madam Halimah adalah minoritas ganda – tidak hanya individu Melayu-Muslim, tapi juga perempuan,” kata Wakil Direktur Institut Studi Kebijakan Gillian Koh.
Tetapi Koh merasa “penerimaan keragaman kita pasti akan lebih hebat lagi jika ada kontes terbuka”.
Namun, profesor ilmu politik Bilveer Singh dari National University of Singapore mengatakan, “Dipilih melalui jalan pintas tidak melemahkan atau mendelegitimasi pemenangnya.”
STRAIT TIMES | DANIEL AMRULLAH
Baca juga :   Respon Krisis Palestina, ACT Buka Posko di Jalur Gaza