Jakarta, Ahad.co.id- Aliansi Cerahkan Negeri mengadakan diskusi publik dengan tema “Ancaman Konsensual Seks: Kebebasan Seksual Era Milenial”, Jum’at (2/10/2020).
Ubedillah, Pakar Sosiologi Politik, mengawali diskusi tersebut dengan memaparkan kesalahan penafsiran para pemikir liberal pengusung RUU P-KS, dalam memahami substansi sejarah intervensi politik terhadap pelarangan homoseksualitas di era kekuasaan Ratu Victoria yang ditulis oleh Michel Foucalt dalam buku La Volonte De Savoir, Historie De La Sexualite (Sejarah Seksualitas) di tahun 1976.
“Kelompok kiri dan liberal menafsirkan, jika ada kekuasaan yang mengintervensi wilayah privat pada ranah seksualitas, hal itu dianggap sebagai sebuah pengekangan, dan pengekangan tersebut dinilai sebagai sebuah kepentingan kapitalis (kaum borjuis) agar rakyat tidak malas bekerja,” ungkap Ubedillah.
“Tafsiran ini tidak hanya keliru, namun juga liar karena intervensi yang saat itu dilakukan untuk meredam tindakan masyarakat yang amoral dianggap sebagai agenda pembungkaman atas kebebasan dan memiliki kepentingan kapitalisme,” lanjut pria yang saat ini menjadi dosen Ilmu Politik di UNJ tersebut.
Ubedillah menjelaskan bahwa dalam buku tersebut, Foucalt melakukan kritik berdasarkan konteksnya saat itu dimana sistem pengetahuan hanya bisa diraih oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan saja. Sehingga penafsiran bahwa intervensi politik terhadap larangan tindakan amoral di era kekuasaan Ratu Victoria merupakan upaya kaum borjuis untuk membuat rakyat lebih fokus bekerja demi memenuhi kepentingan kaum borjuis.
“Larangan serupa juga terjadi pada masyarakat Madinah era Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalam, dan yang menjadi dasar argument negara melakukan intervensi di ranah seks tersebut adalah argumen teologis berupa wahyu, kesadaran atas keadilan dan dampak sosiologisnya. Bukan semena-mena merupakan argumen kepentingan kapitalisme atau subyektifitas politik,” jelas Ubeidillah.
“Sehingga, jika penggunaan tafsir Foucalt diterapkan pada konteks masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk dan beragama, hal tersebut tidak tepat karena berakar pada kesalahan penafsiran substansi oleh pengikut buta Foucalt saja,” lanjutnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Koordinator Biro Hukum ACN, Indramayu, S.H, berlanjut pada pembahasan mengenai sistem demokrasi dan sistem pendidikan di Indonesia.
“Dalam perspektif demokrasi, dari konsep Abraham Lincoln hingga Digital Democracy, meyakini bahwa demokrasi sepenuhnya adalah penghargaan suara rakyat dan legitimasi suara rakyat ditentukan oleh suara mayoritas. Sehingga, konteks konsensual seks di Indonesia bertentangan dengan suara mayoritas, dengan berbasis pada Pancasila, bangsa ini adalah bangsa beragama dan semua agama melarang perzinahan. Maka dalam perspektif dan logika demokrasi, konsep konsensual seks bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia,” terang Ubedillah.
“Selain itu, pendidikan nasional adalah produk politik yang telah ditetapkan melalui undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang memuat bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk akhlak mulia yakni merujuk pada moralitas agama dan agama melarang seks konsensual. Perspektif politik dalam terminologi David Easton, “Politik adalah sistem yang kemudian melahirkan apa yang disebut public policy.” Dalam konteks pendidikan adalah UU Sisdiknas dan Undang-undang ini melarang hal-hal yang bersifat konsensual seks.” lanjutnya.
Diskusi dilanjutkan oleh pemaparan konsep konsensus seksual di RUU P-KS dalam perspektif hukum yang disampaikan oleh Direktur PAHAM Jakarta, Nurul Amalia. Ia menjelaskan bahwa konsep consensual sex pada RUU P-KS termaktub jelas dalam pasal 1 RUU P-KS yang berbunyi “Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
“Sepanjang kami membaca banyak undang-undang, kami tidak pernah menemukan frasa seperti ‘persetujuan dalam keadaan bebas’ yang artinya consent atau persetujuan. Frasa inilah yang menghadirkan makna konsensus atau persetujuan dalam RUU P-KS,” jelas Nurul.
Nurul juga menyertakan materi pengenalan konsep konsensual seks yang sempat dimasukkan dalam materi sexual consent oleh salah satu perguruan tinggi negeri dalam materi pengenalan mahasiswa baru. Menurutnya, hal tersebut merupakan upaya mensosialisasikan pemikiran yang terkandung dalam RUU P-KS karena definisi ‘kekerasan seksual’ yang sama. Ia juga memaparkan tentang kekosongan hukum atas berbagai kasus kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia namun tidak satu pun yang diadili, hal tersebut juga memicu berbagai tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat yang menolak perzinahan di lingkungan mereka.
“Padahal hukum seharusnya mengakomodasi kepentingan kehendak mayoritas masyarakat yang menginginkan adanya perbuatan kejahatan seksual (pelacuran, perzinahan, kohabitasi, penyimpangan seksual, dlsb) dianggap sebagai pelanggaran hukum negara, adat dan agama. Hal ini merupakan pertarungan keinginan diakomodasinya golongan tertentu yang tidak menjadi suara kebanyakan masyarakat di Indonesia,” tegas Nurul
“Sexual consent merupakan keinginan tirani minoritas yang menginginkan liberalisasi hubungan seks dengan persetujuan tidak menjadi delik kesusilaan yang diatur dalam sebuah perundang-undangan. Apabila tirani minoritas menggeser kepentingan mayoritas, maka akan meruntuhkan tujuan dibuatnya hukum yakni mengakomodasi kehendak mayoritas masyarakat yang berdasarkan sumber hukum materiil yakni keyakinan tentang agama dan kesusilaan pada hampir seluruh masyarakat di Indonesia,” lanjut Nurul
“Jadi negara harusnya berpihak pada kebenaran hakiki yang dianut oleh masyarakat kebanyakan atau common sense yang menghargai budaya Indonesia, kemajemukan, kekayaan nilai luhur dan agama, karena negara ini berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan sebagaimana yang tercantum pada sila pertama Pancasila,” terang perempuan yang telah berpengalaman dalam isu advokasi kejahatan seksual ini.
Pemateri berikutnya adalah Muhammad Iqbal, Ph.D yang juga CEO Rumah Konseling. Iqbal mengatakan selama mendirikan Rumah Konseling, dirinya seringkali menangani kasus perceraian dan kejahatan seksual yang mau tidak mau akan menghadapi perang ideologi dengan paham feminis. Namun Iqbal menambahkan perang ideologi tersebut bukanlah tanpa dasar karena memang secara psikologi feminisme gerakan ini dilatarbelakangi oleh dendam para perempuan yang dulu mengalami kekejaman berupa inkuisisi.
“Sehingga perspektif korban biasanya merujuk pada perempuan, padahal saya juga pernah menangani laki-laki yang menjadi korban KDRT dan jumlahnya juga tidak sedikit. Hanya saja, stigma negatif kepada korban KDRT laki-laki lebih besar sehingga banyak dari mereka malu untuk menyatakan diri sebagai korban. Selain itu, dalam melihat kasus KDRT kita juga tidak bisa mengeneralisasi karena kebanyakan penyebab kasus KDRT itu bukan hanya karena satu faktor saja, hal inilah yang menyebabkan isu KDRT tidak semuanya dilaporkan. Misal saat terjadi sebuah kasus KDRT pemukulan kepada istri, tidak sedikit yang diawali oleh kata-kata tajam si istri kepada suami, jadi suami mengalami kekerasan verbal terlebih dahulu,” terang pria yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi di Universitas Mercubuana tersebut.
Dalam menjelaskan psikologi feminisme, Iqbal juga menjelaskan bahwa premis yang menyatakan bahwa kelompok feminis anti keluarga itu adalah benar adanya, karena feminisme menilai keluarga adalah institusi yang direkayasa oleh sistem patriarki untuk menundukkan perempuan.
Pria kelahiran Medan ini juga menegaskan bahwa praktek konsensual seks ini sudah terjadi sejak lama di Indonesia, “Sudah ada sejak dulu, bentuknya pelacuran dengan berbagai motif. Selain itu juga ada kasus swinger oleh pasangan suami istri yang sering terjadi di perkotaan. Pacaran juga merupakan sebuah aktivitas konsensual seks yang seringkali menjerumuskan pada kehamilan yang tidak diinginkan dan berdampak pula pada meningkatnya kasus penyakit menular seksual,” ungkapnya.
Iqbal juga menambahkan semua perzinahan di dalam maupun di luar ikatan perkawinan akan berdampak pada menurunnya kualitas manusia, apalagi kalau sampai terjadi perceraian yang mau tidak mau berdampak pada psikologis kejiwaan anak. Sehingga, sangat penting bagi kita sebagai bangsa Indonesia menuntut ditegakkannya nilai-nilai ketuhanan pada Pancasila untuk menguatkan ketahanan keluarga, jika keluarga lemah maka otomatis tiap-tiap individu dalam sistem tersebut lemah,” tegas pria yang menyelesaikan gelar philosophy doctoral di Universiti Kebangsaan Malaysia tersebut.
Pemateri terakhir yakni Koordinator Aliansi Cerahkan Negeri, Erik Armero. Pria yang kerap menggeluti isu-isu perempuan dan lingkungan ini memaparkan bahwa isu konsensual seks meskipun dibawakan oleh kelompok feminis, namun tidak sedikit dari tokoh feminis yang menentang konsep tersebut.
“Melanie A BERES dalam Spontaneous Sexual Consent: An Analysis of Sexual Consent Literature mengatakan bahwa tujuan dari sexual consent adalah untuk mencegah tindak kekerasan seksual, tetapi setelah sekian lama konsep ini hadir masih belum mampu membuat angka kekerasan seksual menurun,” ungkapnya.
Erik juga menambahkan bahwa BERES menilai konsep konsensual seks menyebabkan moral transformation, sehingga secara langsung dapat merubah suatu tindakan yang awalnya salah menjadi benar.
“Menurut BERES, konsensual seks atau persetujuan melakukan aktivitas seks, meskipun penting, tapi tidak bisa mengubah begitu saja aktivitas yang bermasalah secara moral menjadi aktivitas yang dapat diterima secara moral,” lanjut pria yang merupakan alumnus Sekolah Pemikiran Islam Jakarta tersebut. Ia mempertanyakan bagaimana perempuan muslim yang mendukung pengesahan RUU P-KS ini bisa melewatkan poin transformasi moral tersebut.
“Konsensual seks berbahaya dan menyesatkan jika diperuntukkan bagi pasangan diluar ikatan pernikahan yang sah, jika ini terjadi berarti membenarkan seks bebas terjadi di Indonesia. Konsensual Seks juga mencederai Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena satu-satunya lembaga yang bisa mensahkan atau melegalkan hubungan seksual adalah lembaga perkawinan, bukan konsensual seks. Kesepakatan melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan sesungguhnya telah mengkhianti dan mencederai UU perkawinan yang sah menurut agama dan negara,” pungkas Erik.
Diskusi publik ini didukung oleh jaringan Aliansi Cerahkan Negeri yakni AYLF Indonesia, FSLDK Jadebek, KAMMI Jabodetabek, LKHK, #IndonesiaTanpaJIL Jabodetabek, SPI Jakarta, dan SPJ Jabodetabek. (Ayu)