Kolombo, Ahad.co.id- Pemerintah Sri Lanka memaksa mengkremasi jenazah warga yang positif mengidap virus corona (Covid-19). Ketentuan itu juga berlaku bagi jenazah Umat Muslim di negara itu.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) pun telah memperingatkan, Pemerintah Sri Lanka tampaknya sedang berusaha menstigmatisasi kelompok Muslim yang minoritas di negeri itu selama pemberlakuan karantina wilayah akibat wabah virus corona.
Kremasi adalah tradisi yang diterapkan masyarakat Sinhala Buddha, penduduk mayoritas di negeri itu. Sementara, ajaran Islam mengharuskan orang yang meninggal untuk dimakamkan, bukan dibakar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah mengizinkan penguburan dan kremasi bagi para korban virus corona.
Akan tetapi, pada 11 April, Pemerintah Sri Lanka malah mengeluarkan aturan yang menjadikan kremasi sebagai metode wajib bagi semua korban Covid-19. Sri Lanka menjadi satu-satunya negara di dunia yang melakukan penyeragaman itu.
“Fakta bahwa tidak ada negara lain yang melarang penguburan memberi tahu Anda betapa buruknya kebijakan ini (untuk Muslim di Sri Lanka saat ini),” ujar Direktur Crisis Group untuk Sri Lanka, Alan Keenan, dikutip Alarabiyah, Selasa (21/4/2020).
Sri Lanka memberlakukan lockdown secara nasional sejak 21 Maret. Hingga hari ini, ada 303 kasus infeksi virus corona telah dikonfirmasi di negara itu, dan tujuh pasien di antaranya meninggal dunia.
Sejauh ini, tiga jenazah Muslim telah dikremasi, menimbulkan keluhan yang sangat besar bagi keluarga mereka. Fayaz Yoonus, putra salah satu korban di Kota Batticaloa, baru-baru ini memberi tahu Alarabiyah tentang kematian dan kremasi ayahnya.
“Ketika kami diberi tahu bahwa ayah saya akan dikremasi, saya harus membiasakan diri dengan prosedur ini. Saya bahkan tidak tahu di mana harus membeli peti mati,” tuturnya.
Keesokan paginya, Yoonus diizinkan untuk mengunjungi jenazah ayahnya di kamar mayat bersama saudara laki-laki dan iparnya. Mereka menggelar salat jenazah sebelum jasad ayanya dibakar hingga menjadi abu.
“Di luar, seorang petugas medis yudisial bertanya kepada saya, di depan media, apakah saya keberatan dengan kremasi itu. Saya sangat lelah dan kewalahan dengan apa yang terjadi, saya tidak tahu bagaimana harus merespons. Saya akhirnya memberi tahu mereka bahwa saya memberi persetujuan,” ujar Yoonus.
Dia menuturkan, wawancara dengan petugas medis yudisial itu kemudian disiarkan di dua saluran televisi milik pemerintah Sri Lanka. Dia tak punya pilihan selain menjawab di depan publik bahwa dia menyetujui pengabuan sang ayah.
Yoonus mungkin sedikit beruntung. Jenazah Muslim yang pertama kali dikremasi di negara itu sejak lockdown, dibakar tanpa sepengetahuan keluarganya.
“Pada saat kremasi, putranya diperiksa oleh Departemen Investigasi Kriminal karena diduga menyebarkan virus ketika dia membawa ayahnya ke rumah sakit swasta,” kata salah satu aktivis HAM, Shreen Saroor, yang berkomunikasi langsung dengan keluarga yang terkena dampak kebijakan pemerintah Sri Lanka itu. (Daniel)