Beranda Berita Dewan Da’wah: Pesantren Masa Depan Kejayaan Pendidikan Indonesia

Dewan Da’wah: Pesantren Masa Depan Kejayaan Pendidikan Indonesia

BERBAGI
Ilustrasi/sidogiri.net

Jakarta, Ahad.co.id- Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr Adian Husaini, mengatakan pondok pesantren memiliki peran strategis menuju masa depan kejayaan pendidikan Indonesia. Untuk itu, konsep pesantren perlu dijadikan sistem pendidikan nasional.

“Masa depan kejayaan pendidikan kita ya pesantren. Maka tolong ubah pendidikan kita jadi konsep pesantren,” seru Adian pada pidato perdana menyambut Hari Santri bertema “Menyongsong Kejayaan Pendidikan Kita” yang disiarkan secara langsung melalui kanal-kanal ofisial Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Rabu (21/10/2020) malam.

Siaran pidato Ketum Dewan Da’wah ini diikuti ribuan orang di Indonesia dan luar negeri. Mereka menyimak dari kanal medsos Dewan Da’wah, AdianhusainiTV, KalamTV, UmmatTV, Radio Dakta 107 FM, voa-Islam TV, dan lain-lain.

Sebagian audiens itu mengikuti secara berjamaah. Misalnya dosen dan mahasiswa Akademi Da’wah Indonesia Bukittinggi Sumatera Barat, Kupang, dan mahasiswa AtTaqwa College Depok.

Menurut Adian, jauh sebelum masa kemerdekaan, tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara pernah menyinggung soal konsep pondok atau asrama yang merupakan ruh sistem pendidikan nasional. Pada Majalah Wasita edisi November 1928, Ki Hajar Dewantara menulis, “Sistem Pondok dan Asrama Itulah Sistem Nasional”. Ki Hajar mengatakan hakikat pesantren adalah terjadinya proses interaksi intensif antara kyai dan santri, sehingga terjadi proses pengajaran dan pendidikan.

“Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang disebut ‘pondok pesantren’. Kalau jaman dulu dinamakan ‘pawiyatan’ atau asrama. Sifat pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumah kyai guru (Ki Hajar), yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat rumah pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri selalu berhubungan dengan pendidikan,” demikian kata Ketum Dewan Da’wah mengutip penjelasan Ki Hajar.

Baca juga :   Jaga Netralitas MUI, Din Syamsuddin Lepaskan Jabatan Utusan Presiden

“Jadi, Ki Hajar Dewantara sudah tahu bahwa sistem pondok dan asrama itulah sistem pendidikan nasional,” tegas Adian.

Pada 1922, lanjut Adian, Ki Hajar Dewantara juga pernah menyampaikan kritik konsep pendidikan kolonial. Kata Ki Hajar, konsep pendidikan Belanda hanya menghasilkan lulusannya bermental buruh.

“Anehnya, banyak priyayi atau bangsawan yang senang serta menerima model pendidikan ini. Dan mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik, dan semata-mata memberikan ijazah yang hanya memungkinkan mereka sekadar menjadi buruh,” ungkap Adian menyitir pernyataan Ki Hajar Dewantara.

Kemudian, Adian menunjukkan bahwa konsep pendidikan pesantren sesuai dengan konstitusi negara yakni pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”

“Jangan diremehkan itu iman dan takwa dan akhlak mulia. Konstitusi sudah menggariskan. Untuk itu, amanah konstitusi ini harus dijalankan pemerintah. Sistem ideal itu pesantren yang menanamkan adab dan akhlakul karimah,” tegas Adian.

Dikatakannya, peran pesantren sudah terbukti dalam sejarah Indonesia. Pesantren memiliki kekhasan dan keunggulan dalam pendidikan Indonesia.

“Pesantren melahirkan generasi 45. Pada masa penjajah pesantren banyak melahirkan pejuang dan ulama yang merebut kemerdekaan,” ujar Adian.

Sistem pesantren tak akan tergerus oleh zaman bahkan menjadi instrumen penting menuju masa depan kejayaan pendidikan Indonesia. Mengapa demikian?

Karena, menurut Adian, pesantren memiliki enam ciri khusus yang tidak dimiliki sistem pendidikan lainnya. Enam ciri utama pendidikan pesantren yakni : (1) keteladanan kyai dan guru (2) pendalaman ulumuddin (tafaqquh fid-din) dan cinta tanah air, (3) penanaman adab dan akhlak mulia (4) penanaman dan pelatihan kemandirian (5) penanaman jiwa dakwah (6) pemahaman pemikiran kontemporer. (Fa’at/Bowo)