Beranda Headline Catatan Kaki Diskusi Buku “Hijrah dari Radikal Menjadi Moderat”

Catatan Kaki Diskusi Buku “Hijrah dari Radikal Menjadi Moderat”

BERBAGI

Oleh Budhi Setiawan

Bagi seorang penulis buku maka kritik, saran atau bahkan pujian sebuah kewajaran bahkan keniscayaan. Pro dan kontra adalah bagian dari sikap ilmiah yang mengiringi kehadiran sebuah tulisan.

Forum Condet, kelompok kecil yang diinisiasi oleh LPPDI Thoriquna melanjutkan kebiasaan sekelompok kecil aktivis Islam asal Jakarta dan sekitarnya sebelumnya, dahulu bernama Forum Diskusi Kalibata. Masalah aktual atau studi kritis atas sebuah karya ilmiah atau pendapat diuji dalam diskusi sederhana ini.

Beberapa buku pernah kami bedah dan kritisi, misal Fiqh Kebhinekaan, Negeri Setengah Demokrasi termasuk bersama beberapa tokoh kita berdiskusi soal komunis dan paham-paham lainnya di Indonesia dan bagaimana konklusi dari setiap permasalahan yang diangkat. Hasil diskusi pun rutin dipublikasikan melalui beberapa media Islam saat itu.

Walaupun sempat tertunda beberapa saat, namun akhirnya Forum Condet sebagai penyambung forum sebelumnya kembali terlaksana kali yang kedua. Kali ini kami membahas sebuah tulisan bergaya essay yang ditulis salah satu pembina LPPDI Thoriquna ustadz Haris Amir Falah. Biar pun buku ini ditulis oleh pembina bukan akhirnya menghilangkan sikap kritis kami.

Dalam acara kami hadirkan mas Herry Mohammad sebagai jurnalis senior yang sudah cukup lama mengikuti sepak terjang penulis buku. Harapannya akan muncul telaah kritis namun dapat dituturkan dengan bahasa yang sederhana dan netral dalam memandang. Peserta walau terbatas juga hadir mereka yang bisa melihat dari sisi lain tulisan yang dibuat oleh penulis menuturkan sebagian perjalanan hidupnya.

Herry Mohammad dalam paparannya menyampaikan 2 hal penting. Pertama, beliau mengkritisi pemilihan kata radikal yang dirasa tidak tepat. Tutur beliau, “beragama itu ya harus radic, atau mengakar karena kita tidak bisa beragama hanya ranting karena akan terombang ambing”. Beliau juga mengatakan lebih setuju menggunakan kata ekstrim karena berarti ghuluw yang memang dilarang oleh Islam. Lebih lanjut beliau mengatakan buku ini tidak harus mengikuti standar akademisi karena ini adalah bagaimana penulis menceritakan tentang sepenggal kisah hidupnya.

“Ini baru sepenggal, kalau ditulis seluruhnya bisa lebih tebal lagi”, ujar Herry Muhammad. Namun beliau juga memberi apresiasi keberanian penulis buku berani jujur dari kesalahannya dan menuliskannya dalam sebuah buku. Hal ini agar dapat menjadi pelajaran agar para pemuda dari kalangan ummat Islam tidak terjebak pada pemahaman ekstrim atau ghuluw. Pada akhir diskusi beliau menyarankan untuk membedah buku ini dikalangan mahasiswa atau kampus agar lebih banyak pemuda pelajar yang dapat tercerahkan.

Baca juga :   Tiga Santri Ustaz Yusuf Mansur Jadi Imam di Negeri Gingseng

Kritikan juga muncul dari peserta diskusi soal pemilihan kata radikal, yang menurutnya pemilihan kata ini akan berakibat sebelum membaca publik akan tergiring bahwa seolah buku ini bagian dari proyek deradikalisasi BNPT. Hal ini sangat mungkin karena saat ini publik sedang terganggu dengan penggunaan diksi ini oleh pemerintah. Kritikan juga muncul mengenai kata pengantar buku kenapa oleh 2 orang tokoh yang sangat dikenal sebagai tokoh liberal sehingga menggiring seolah-olah kata moderat yang dimaksud dalam buku adalab moderat versi kaum liberal.

Penulis buku, Haris Amir Falah dalam kesempatan penyampaian paparannya mengenai bukunya mengatakan bahwa buku ini terlahir dari proses berfikir yang cukup lama setelah tertangkap dalam kasus pelatihan Jalin Janth Aceh. Pergaulan penulis dengan beberapa jurnalis, tokoh dan kelompok dan melakukan diskusi rutin dengan mereka yang kemudian menghasilkan sebuah pemahaman yang taraju’ kepada pemahaman Islam yang washitiyah. Inilah yang kemudian ditulis dalam buku, perjalanan masa-masa saat berpemahaman ghuluw fi takfir hingga kemudian kembali pada pemahaman yang washitiyah.

Penulis juga menjawab kritisan soal judul buku yang memang dipilih melihat bahwa penggunaan diksi radikal sesuatu yang memang sering digunakan oleh ormas Islam dan para tokoh dalam koridor yang dimaksud adalah sikap tasyaddud atau berlebih-lebihan dalam beragama. Penulis juga mengakui banyak kritikan dan berjanji akan merevisi dalam edisi berikutnya akan memunculkan hasil revisi dan kritikan banyak pihak termasuk menambahkan testimoni dari mereka yang berjalan bersama beliau dan sama-sama mengalami transformasi pemikiran dan gerakan.

Akhir kata inilah salah satu upaya kami memberikan hak saling menasehati dan berukhuwah dengan berbagai pihak utamanya kepada penulis buku. Buku yang dapat diapresiasi sebagai sebuah upaya taubat penulis dari pemahaman ghuluwnya yang ditunjukkan beliau mengawali dengan istigfar ketika bercerita tentang sikapnya dahulu. Namun juga ini bukanlah sebuah karya yang sempurna, masih banyak hal yang harus dikoreksi dan diperbaiki kedepannya. Tapi sebagai sebuah perjalanan ilmiah penulis buku maka hal ini menjadi pelajaran yang berharga yang tentunya kita berharap penulis berlega hati menghadapi semua kritikan dan bahkan mungkin hujatan dan tentunya tidak pula menjadi jumawa ketika mendapatkan pujian.