Yangon, Ahad.co.id- Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi bertolak menuju Den Haag, Belanda, untuk menghadapi tudingan genosida dalam persidangan di Mahkamah Internasional (ICJ). Bersama sebuah tim pakar, Suu Kyi dijadwalkan hadir dalam sidang di ICJ pada 10 dan 12 Desember mendatang.
November lalu, Gambia mengajukan pengaduan ke ICJ atas dugaan genosida dan pembersihan etnis yang dilakukan Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya pada 2016 dan 2017.
Otoritas Gambia, yang mengajukan pengaduan di bawah nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), juga meminta adanya langkah-langkah pencegahan untuk mencegah terjadinya pembunuhan di luar jalur hukum serta pelecehan dan kekerasan seksual terhadap Rohingya. Gambia juga meminta adanya pencegahan terhadap militer Myanmar yang mungkin saja menghancurkan bukti atau menghalangi jalannya investigasi.
ICJ akan menjadi pengadilan kedua di Den Haag yang mempertimbangkan mengambil langkah hukum terhadap Myanmar. Pada 14 November, jajaran hakim dari Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) mengizinkan adanya penyelidikan terhadap dugaan kejahatan terhadap Rohingya. Dilansir dari The Sydney Morning Herald, Senin (9/12/2019).
Bulan lalu, sebuah organisasi Rohingya melayangkan pengaduan di Argentina atas dugaan kejahatan terhadap kelompok minoritas. Karena Argentina menerapkan prinsip yurisdiksi universal, kasus apapun dapat diselidiki terlepas dari di mana dugaan kejahatan itu terjadi.
Lebih dari 730 ribu Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak Agustus 2016. Eksodus massal terjadi usai sebuah grup pemberontak menyerang pos keamanan Myanmar di Rakhine, yang dibalas otoritas keamanan dengan operasi brutal terhadap Rohingya.
Operasi militer tersebut, yang melibatkan dugaan pembunuhan massal dan perkosaan, dinilai pengamat Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pembersihan etnis dan mungkin juga genosida.
Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara, dan etnis minoritas itu sejak lama menerima diskriminasi dalam berbagai bidang.
Suu Kyi, seorang tokoh internasional yang pernah mendapat banyak pujian terkait transisi junta militer ke demokrasi, telah kehilangan banyak dukungan dari komunitas global. Ia dinilai sudah tidak pantas lagi menyandang Nobel Perdamaian karena gagal melindungi Rohingya. (Daniel)