Beranda Berita Ini Tanggapan MUI Soal Rencana Penulisan Ulang Buku Pelajaran Agama

Ini Tanggapan MUI Soal Rencana Penulisan Ulang Buku Pelajaran Agama

BERBAGI
Kredit foto: Dokumentasi Wahdah Islamiyah

Jakarta, Ahad.co.id- Kementerian Agama akan menulis ulang buku-buku pelajaran Agama di sekolah dari Kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag mengungkapkan, sedikitnya ada 155 buku agama yang akan ditulis ulang. Tujuan penulisan ini adalah untuk mencegah penyebaran radikalisme dan intoleransi ditengah masyarakat.

Menanggapi hal itu Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) KH. Muhammad Zaitun Rasmin mengatakan, pengaitan intoleransi, radikalisme, dan terorisme dengan buku pelajaran Agama di sekolah formal membutuhkan penelitian.

“Tentu ini perlu penelitian, Kita di MUI belum menemukan hal seperti itu,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Ahad.co.id, Ahad (17/11/2019).

Ia menampik adanya konten radikal dalam buku pelajaran Agama di sekolah-sekolah.
Sementara Direktur Jenderal Direktorat Pendidikan Islam Kamaruddin Amin mengatakan paham radikal dan intoleran di Indonesia sudah dalam tahap mengkhawatrikan, sehingga menurutnya perlu membuat ulang buku Agama sejak dini agar anak terhindar dari paham radikal.

Menanggapi hal itu Kyai Zaitun mengatakan bahwa MUI belum menemukan hal itu, dan sebaiknya MUI dilibatkan dalam persoalan ini.

“Kita di MUI belum menemukan hal seperti itu, dan tadi berapa kali bertanya ke pak Kamaruddin tidak menyebutkan satupun dari konten buku-buku yang dikatakan tadi kemungkinan ada konten radikalnya. Yang dikatakan tadi hanya selama ini bukunya banyak pada kesolehan pribadi, kita mau ditingkatkan kesolehan sosial dan sebagainya. Itu secara niat bagus saja maka saya tadi berpikir kalau niatnya itu tidak harus perubahan buku itu dibumbui dengan isu radikalisme”, jelasnya.

Ia memandang bahwa mengaitkan setiap hal dengan radikalisme merupakan sesuatu yang berlebihan.

“Mentang-mentang sekarang ini misalnya isu radikalisme lagi naik diangkat lagi apa-apa semua yang mau kita lakukan dikaitkan dengan radikalisme ini bisa berlebihan”, ujarnya.

“Saya mau menyampaikan bahwa niatnya baik diharapkan kalau bisa kajiannya bisa lebih terbuka nanti ahli, tokoh agama termasuk MUI bisa dilibatkan, tapi kalau memang belum ada yang ditemukan ya kita jujur saja kalau tidak ada konten radikal”, tegasnya.

Menurut Ketua Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara ini, sampai saat ini juga kalau kita lihat mereka yang terlibat teroris mereka yang terlibat radikalisme atau yang dipandang selama ini intoleran saya kira bukan produk-produk dari buku-buku yang ada baik dari diknas maupun kementrian agama.

“Itu saya kira dari berbagai sumber-sumber yang lain yang mungkin telah masuk dan mungkin bukan secara formal di sekolah”, ungkapnya.

Baca juga :   TGB Desak Kepolisian Segera Usut Kasus Penganiayaan Ulama

Menurutnya niat baik untuk melakukan pembenahan, termasuk mengantisipasi, itu sangat baik, tapi yang paling penting jangan sampai terjadi, misalnya malah akan menimbulkan kehebohan, lalu ketidak tenangan apalagi ini kan masalah buku-buku ini juga tidak sedikit anggarannya.

Ketua Umum Wahdah Islamiyah mengaku lebih setuju jika pencegahan dan antisipasi radikalisme dan intoleransi difokuslkan pada pembinaan guru karena sesungguhnya yang dominan di negeri ini adalah orang-orang baik yang moderat dan toleran.

“Saya lebih setuju, misalnya peningkatan pemahaman pada para guru. Dengan tetap harus bersangka baik, kita ini harus menjadi orang-orang yang bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, Allah subhanahu wata’ala. Negeri ini walaupun heboh tentang teroris, radikalisme, ini segelintir. Ini yang dominan ini orang-orang yang toleran, orang-orang yang memahami moderasi itu dan ini tinggal kita perkuat”, terangnya.

Inisiator Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia ini juga menolak stigma bahwa Indinesia darurat radikalisme dan intoleransi.

“Saya tidak setuju darurat, kalau dari sisi pemahaman umum ya, tapi kalau kejadian-kejadian yang itu karena memang dia extra ordinary crime yang teroris itu boleh kita katakan demikian, tapi kita tidak boleh menimbulkan ketakutan pada masyarakat, sehingga semua orang jadi paranoid”, ucapnya.

Ia justeru mengajak semua pihak untuk melihat realitas kehidupan nyata yang aman dan damai. Seperti demontrasi jutaan orang yang begitu heroik untuk menuntut keadilan secara damai dan tidak menyakiti penganut agama lain di negeri ini.

“Tidak ada darurat intoleransi, sebab kita inikan sudah lama mengamalkan itu, dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 45 itu sudah kita amalkan dengan baik dalam berbangsa, bernegara”, imbuhnya.

“Saya tidak setuju kalau dikatakan darurat secara umum,tapi kalau ada orang-orang yang melakukan itu karena ini extra ordinary crime memang kita patut sangat prihatin, Mari seluruh bangsa ini kita berusaha, tapi jangan seolah-olah nanti seperti ada tikus terus lumbung padinya mau dibakar”, tandanya.

Ia setuju bahwa intoleransi, radikalisme, dan terorisme tidak boleh dibiarkan, tapi belum sampai pada taraf darurat.

“Semua kita ini setuju jangand dibiarkan, tapi jangan dibilang darurat masif ini, andaikan massif di Indonesia mungkin setiap hari akan terjadi seprti di Pakistan misalnya, obyektif lah kita, karena ekstrim kanan muncul karena ekstrim kiri, Ini berbahaya”, pungkasnya. (ril)