Jakarta, Ahad.co.id- Ditemui di ruangannya; ruang Mudir `Am Pondok Pesantren Persis No 69 Kramat Asem Matraman Jakarta, Al Ustadz Dr. Jeje Zaenudin, yang selain diamanahi sebagai pimpinan pondok juga sebagai wakil ketua umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) ini, kepada penulis bercerita panjang lebar perihal dakwah, startegi dan kontekstualisasinya.
Perkembangan dunia dakwah di Indonesia, menurutnya, di samping menerbitkan decak yang patut disyukuri, juga tak pelak melahirkan sesak yang laik diinsyafi dan dievaluasi.
“kita bersyukur, sekarang lembaga-lembaga dakwah, majelis taklim, media-media dakwah (terutama yang berbasis online) tumbuh subur dan tersebar secara luas”, demikian beliau membuka obrolan saat ditanya soal perkembangan dakwah di Indonesia dewasa ini.
“Namun begitu”, lanjutnya, “patut disayangkan, umat dakwah ada yang terbelah; terjadi kompetisi kontra-produktif antar da`i dan mad`unya. Muncul semacam gejala pengidolaan (idolatry—Red) berlebihan terhadap sang da`i dan pengklaiman kebenaran sepihak di satu sisi, pada saat yang bersamaan memvonis yang di luar kelompoknya salah, pada sisi lainnya”
“Padahal yang dipermasalahkan itu bukanlah persoalan prinsipil”, tegas Ketua Dewan Pengawas Syari`ah Laznas Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini.
Pembina Pendidikan Ma’had An Nahla Bekasi ini juga menuturkan, bahwa sudah saatnya setiap gerakan dakwah mulai memberikan porsi yang besar dan serius terhadap permasalahan yang lebih substantif seperti problem-problem sosial kemanusiaan dan ruang hidup.
“Janganlah kita hanya sibuk memperdebatkan soal-soal khilafiyah dalam fiqih tapi kemudian abai terhadap permasalahan kemanusiaan seperti: kemiskinan, korupsi, narkoba, freesex, anak-anak korban perceraian orang tuanya dll”, jelas inisiator MIUMI ini lebih jauh.
Ketua STAIPI Jakarta ini juga menambahkan bahwa banyak umat Islam yang masih berkubang dalam kemaksiatan; tidak shalat dan tidak bisa membaca Al Qur`an. “Ada sekitar 53% umat Islam yang buta huruf Al-Qur`an”, ujar Doktor Hukum Islam ini sambil mengutip data dari Kemenag.
Kembali menegaskan, pengurus Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan alumni Pesantren Persis Benda Tasikmalaya ini menyampaikan, “hendaknya para da`i tidak melulu menekankan fokus dakwahnya berkutat pada soal-soal khilafiyah yang memang sulit dicari keseragamannya, seperti ikhtilaf fiqhiyah dalam hal tatacara berisyarat ketika tasyahud sholat dimana ada banyak hadits yang multi tafsir”.
Terakhir, Penulis buku “Politik Hukum Islam di Indonesia” dan “Metode dan Strategi Penerapan Islam di Indonesia” ini berpesan, dari berbagai fakta problematika tersebut, Islam harus menjadi sumber solusi, bukan sumber polemik. Dakwah harus berani mengisi ruang-ruang substantif yang bersentuhan langsung dengan persoalan keummatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Solusi dakwah harus segera hadir di ranah itu. Soal-soal prinsipil tersebut jangan sampai luput dari jangkaun radar kerja-kerja dakwah kita. “Buktikan bahwa Islam itu “hudan”, “Syifa`an”, dan “Shiraathal Mustaqim”, pungkasnya.
Kiriman: Sidik Sasmita