Washington DC, Ahad.co.id- Proposal perdamaian Palestina Donald Trump yang oleh menantunya Jared Kusher, penasihat khusus Timur Tengah, disebut telah sesuai laporan yang diupayakan bersama dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman—benar-benar terlihat seperti transaksi real estate. Tidak mengejutkan, mengingat bahwa Kushner yang berusia 36 tahun tersebut tidak memiliki pengalaman dalam diplomasi, namun memiliki banyak pengalaman dalam menyetir dan membuat kesepakatan dengan dunia usaha properti tingkat tinggi di New York.
Proposal perdamaian Palestina tersebut telah disebut sebagai “rencana suaka.” Yang melibatkan penyerahan 50 persen wilayah Tepi Barat Palestina kepada Israel. Kota-kota Palestina di Tepi Barat yang dikelilingi oleh proyek pemukiman Israel akan jatuh dibawah kontrol administratif Jordan. Dalam bagiannya, Mesir mungkin akan setuju untuk menyerahkan Sinai Utara kepada entitas Palestina baru yang berdekatan dengan Gaza. Ibu kota dari pengelompokan yang aneh tersebut akan menjadi kota Palestina di pinggiran kota Yerusalem, Abu Dis. Yerusalem kemudian akan menjadi ibu kota Israel secara penuh tanpa terpecah-pecah.
Hal ini tentu saja merupakan suatu kegilaan. Apa yang akan membuat rakyat Palestina berpikir mereka mau menyerahkan hak mereka di Tepi Barat untuk sebuah potongan wilayah dari mesir yang penuh dengan terorisme? Mengapa juga Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi mau menyerahkan wilayahnya, setelah dia baru saja diserang dari berbagai pihak karena menyerahkan dua pulau kecil di Laut Merah kepada Arab Saudi?
Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman (MBS) mengatakan bahwa orang Palestina harus menerima proposal perdamaian dengan Zionis atau “diam”, media Israel melaporkan.
Menurut berita Channel 10 Israel pada hari Ahad (29/4/2018) MBS membuat pernyataan tersebut ketika dalam perjalanan ke New York bulan lalu di mana dia bertemu dengan beberapa pemimpin Yahudi.
“Selama 40 tahun terakhir, kepemimpinan Palestina telah kehilangan kesempatan lagi dan lagi, dan menolak semua tawaran yang diberikan,” kata sang Putra Mahkota. “Sudah saatnya rakyat Palestina menerima tawaran itu, dan setuju untuk datang ke meja perundingan – atau mereka harus diam dan berhenti mengeluh.”
Pernyataan Putra Mahkota Arab Saudi tersebut ternyata berseberangan dengan Sang Raja Arab Saudi sendiri.
Raja Salman meyakinkan sekutu di Liga Arab bahwa Arab Saudi tidak akan mendukung rencana perdamaian Timur Tengah yang diajukan Amerika Serikat untuk mengatasi status Palestina atau hak pengembalian pengungsinya. Pernyataan ini untuk meredakan kekhawatiran negara-negara Liga Arab bahwa kerajaan itu mungkin mendukung proposal perdamaian AS yang memihak Israel.
Jaminan pribadi Raja Salman kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah menegaskan posisi Arab Saudi untuk menolak rumor bahwa sikap Arab Saudi akan berubah di bawah kekuasaan putranya, Mohammad bin Salman.
Hal ini pada gilirannya telah mempertanyakan apakah Arab Saudi, tempat kelahiran Islam dan situs paling suci umat Islam, dapat menggalang dukungan negara-negara Arab untuk mengakhiri perselisihan Israel-Palestina, dengan mata yang terus tertuju melawan Iran, musuh abadi Arab Saudi.
“Di Arab Saudi, raja adalah orang yang memutuskan masalah ini sekarang, bukan putra mahkota. Kesalahan AS adalah mereka berpikir satu negara dapat menekan sisanya untuk menyerah, tetapi ini bukan tentang tekanan. Tidak ada pemimpin Arab yang bisa menyerah di Yerusalem atau Palestina,” kata seorang diplomat senior Arab Saudi di Riyadh, dikutip dari Reuters.
Menyikapi proposal perdamaian yang diajukan oleh AS ini, Seorang pemimpin senior Hamas, Moussa Abu Marzouk, berjanji untuk menolak proposal tersebut yang berisi rencana usulan perdamaian yang tidak sesuai dengan tuntutan rakyat Palestina.
“Setiap proyek yang ditolak oleh rakyat Palestina tidak akan lulus (berhasil),” kata Abu Marzouk di akun Twitternya, Sabtu (17/2/2018).
Tweet tersebut adalah komentarnya terhadap laporan media tentang “Deal of the Century” usulan Amerika Serikat (AS) yang seolah-olah bertujuan menyelesaikan konflik (baca: penjajahan) antara “Israel” dengan Palestina yang berlangsung sampai sekarang.
Pada dasarnya Palestinapun menghendaki perdamaian dengan Israel, namun dengan proporsi yang lebih mendekati keadilan. Palestina bakal mengakui Israel jika pemerintahan Benjamin Netanyahu itu juga mengakui Negara Palestina sesuai dengan batas yang disepakati pada 1967.
Dalam batas tersebut, selain mengakui wilayah Palestina meliputi Tepi Barat dan Jalur Gaza, Israel juga harus mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Ahmad Royyan