Oleh: Andri Saleh*
AHAD.CO.ID- Jumlah kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalanan Kota Bandung sudah dalam tahap yang memprihatinkan. Data hingga tahun 2016 mencatat, jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung mencapai 1.716.697 unit. Sebanyak 72,87 persen merupakan kendaraan roda dua dan sisanya adalah kendaraan roda empat. Jumlah ini belum termasuk kendaraan motor dari daerah lain, khususnya pada saat weekend.
Dengan kecenderungan laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang lebih cepat dibanding laju pertumbuhan panjang jalan, maka tidak heran jika saat ini jalanan di Kota Bandung sudah mirip dengan Ibukota. Macet tingkat akut.
Untuk mengatasi masalah itu, sebetulnya Pemerintah Kota Bandung sedang menggulirkan beberapa program. Mulai dari rekayasa alur lalu lintas, pembebasan lahan untuk pelebaran jalan, pembangunan fly-over dan under-pass, program Jumat Ngangkot, program Bike To Work dan Bike To School, hingga merancang moda transportasi LRT (Light Rail Transit). Memang, untuk jangka pendek, mungkin program tersebut bisa mengatasi kemacetan untuk sementara waktu. Namun, selama pembelian kendaraan bermotor tidak bisa ditekan, maka kemacetan akan terus berulang.
Pada kenyataannya, saat ini pembelian kendaraan bermotor sangatlah tinggi. Apalagi dengan adanya skema kredit, yaitu sistem pembiayaan dari pihak ketiga (leasing), masyarakat semakin dimanjakan untuk memiliki kendaraan bermotor. Berdasar riset MARS Indonesia tahun 2014, sebanyak 81,20% pembeli kendaraan bermotor roda empat dan 95,70% pembeli kendaraan bermotor roda dua menggunakan skema kredit. Sisanya membeli kendaraan bermotor secara tunai.
Di satu sisi, skema kredit memang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor. Namun, jika ditinjau dari sisi agama, skema kredit seperti itu adalah praktek riba yang jelas-jelas dilarang dalam semua agama.
Dalam teks-teks Veda India kuno antara tahun 2.000 – 1.400 SM, mengkisahkan “lintah darat� disebut sebagai pemberi pinjaman dengan bunga. Atau dalam teks-teks Sutra (700 – 100 SM) dan Jataka Budha (600 – 400 SM) menggambarkan situasi sentimen terhadap pelaku riba.
Dalam Kitab Keluaran pasal 22 ayat 5 menyatakan, “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya�.
Dalam Kitab Ulangan pasal 23 ayat 19 disebutkan, “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan�.
Sedangkan dalam Kitab Imamat pasal 25 ayat 36-37 dituliskan, “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut kepada Allahmu supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu. Janganlah kau berikan dengan meminta riba�.
Dalam Kitab Injil Lukas ayat 34 dinyatakan, “Jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka dimana sebenarnya kehormatanmu? Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu akan sangat banyak�.
Islam pun melarang praktek riba ini. Bahkan, Allah menyatakan perang terhadap semua pelaku riba. Dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 279 dituliskan, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (tidak mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya�.
Pertanyaannya adalah, benarkah skema kredit kendaraan bermotor ini tergolong riba? Selama dalam pembiayaannya melibatkan pihak ketiga – yaitu leasing – maka ini sudah jelas riba. Sekilas terlihat seakan-akan pihak leasing membeli kendaraan bermotor dari dealer lalu dijual kembali kepada pembeli. Namun kenyataannya, leasing-lah yang meminjamkan uang kepada pembeli untuk membeli kendaraan bermotor. Ini terbukti dari BPKB yang mencantumkan nama pembeli, bukan nama leasing. Selanjutnya, uang yang dipinjamkan itu dibayar dengan cara dicicil dengan bunga sekian persen. Dari alasan ini saja sebenarnya sudah cukup kuat menunjukkan bahwa skema kredit kendaraan bermotor seperti ini tergolong riba yang dilarang dalam semua agama.
Jika saja Pemerintah Kota Bandung seoptimal mungkin mematuhi aturan Ilahi ini, misalnya menerbitkan Perda larangan praktek riba, maka bisa dipastikan jumlah pembelian kendaraan bermotor – baik itu roda dua maupun empat – akan bisa dikendalikan. Setidaknya, tidak semua orang bisa membeli kendaraan bermotor dengan seenaknya seperti sekarang ini.
Ini memang sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Ada harapan di kemudian hari, Pemerintah Kota Bandung akan menerbitkan Perda larangan riba. Jumlah kendaraan bermotor di jalanan Kota Bandung akan mudah dikendalikan dan tidak akan ada lagi kemacetan. Karena bisa jadi, kemacetan yang dialami saat ini adalah bentuk azab dari Tuhan karena tidak mematuhi perintah-Nya.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. Al-A’raaf : 96)
***
*) Penulis bekerja sebagai Humas di Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat dan Pengawas di Yayasan Jendela Pondok Amanah (Saung Tahfidz Indonesia)