Oleh: Yuli Ardhika Prihatama
AHAD.CO.ID- Pada masa Majapahit hingga kerajaan-kerajaan Islam, ketika warna Jawa Islam menyelimuti Jawa, candi-candi sebenarnya telah terkubur dan sempat dilupakan. Para ulama dan begawan cenderung menekankan masyarakat untuk cerdas secara literasi dan mengasah teknologi internal dalam dirinya.
Makanya peninggalan candi tidak semasif zaman sebelumnya, justru lebih banyak adalah kakawin, serat, tembang, dll. Karena biasanya bangunan-bangunan besar itu adalah tanda bahwa pemerintahan raja menjadi sangat ambisius sehingga mengerahkan tenaga rakyat untuk membangun monumen kebesarannya. Dan setelah bangunan selesai, biasanya kerajaan akan runtuh seiring lahirnya kerajaan baru.
Makanya tidak heran jika masa itu, orang-orang kolonial susah memasuki alam pikiran masyarakat Jawa. Karena Jawa dan Islam seperti satu kesatuan. Sehingga siapa pun yang berpihak kepada kaum kolonial, akan disebut kafir oleh orang Jawa. Masyarakat Hindu – Buddha yang tidak beriorientasi pada kekuasaan politik juga tetap memilih tinggal di Jawa dari pada menyingkir ke Bali, karena para Sultan dan Wali di Jawa tetap menghormati keyakinan mereka.
Hanya saja, candi-candi itu kembali digali oleh pemerintah kolonial atas masukan para orientalis. Tujuannya adalah untuk mengadu domba masyarakat Jawa yang sudah bertransformasi ke Islam dengan masyarakat Jawa yang bertahan dengan keyakinan lamanya. Di samping itu, secara politik, isu tentang bangunan-bangunan lama itu dapat dijadikan cara untuk melegitimasi kekuatan tandingan dari pemerintahan yang sedang berkuasa.
Ungkapan “Jawa ilang Jawane” sebenarnya lahir dari pernyataan pujangga-pujangga Jawa Islam untuk menegur para priyayi yang silau dengan kemajuan budaya kolonial sehingga mereka akhirnya memilih tunduk pada kolonial dan tidak lagi menjadi pembela rakyat Jawa. Kepribadian Jawa Islam perlahan-lahan luntur ketika rakyat Jawa dikalahkan secara curang oleh Hindia Belanda dalam perang Jawa dengan ditangkapnya Pangeran Dipanegara dan para ulama lainnya. Sejak itu, Jawa dan Islam terus tersekat dan berjarak hingga hari ini.
Bagi saya, sosok Emha Ainun Nadjib dan forum Maiyahannya adalah salah satu dari generasi zaman ini yang mencoba merajut kembali hubungan itu. Tidak hanya sekedar untuk menyatukan kembali dialektika Islam dan Jawa, tapi juga mengingatkan bangsa ini bahwa mereka memiliki leluhur. Leluhur yang dengan segala keunggulannya pernah menjadi penguasa Asia Tenggara. Leluhur yang bisa menerima Islam dengan tanpa luka karena melalui proses kebudayaan yang sangat halus dan rapi. Leluhur yang sudah memiliki kesadaran tentang kemajemukan, jauh sebelum lahir teori Pluralisme cacat ala Barat itu.
Saya percaya bahwa keyakinan masyarakat Jawa dan Nusantara itu sejak dulu sebenarnya monoteistik. Agama manapun yang dibawa ke negeri ini, akan mengalami monoteisasi karena keyakinan dasar masyarakat sini. Walau demikian, ekstrimisme pengamalan agama tetap terjadi, seperti ajaran Bhairawa Tantra di masa Singhasari hingga Majapahit pertengahan. Sebagaimana pula hari ini, ada saja oknum umat Islam yang terjebak dalam ekstrimisme dalam beragama sehingga mudah menghalalkan darah manusia.
Hari ini kita menghadapi masalah besar bernama Globalisasi. Bagi saya, globalisasi adalah bencana besar umat manusia karena ia adalah sebuah tipuan peradaban yang menggiring manusia segala bangsa untuk mengubah dirinya menjadi satu jenis manusia yang American Minded. Amerika yang saya maksud di sini bukanlah sebuah entitas bangsa, tetapi kumpulan bangsa-bangsa yang tercerabut dari akarnya karena mereka dahulunya adalah para budak dan tawanan yang lari lalu bisa memerdekakan diri. Mereka tumbuh menjadi bangsa yang dikendalikan oleh keyakinan materialisme. Lalu seluruh bangsa di dunia saat ini dengan sukarela mengimpor kehidupan mereka yang serba bebas, cara berdemokrasi mereka, hingga segala hal yang sebenarnya sangat rusak.
Bangsa Indonesia menjadi konsumen globalisasi cukup parah, baik secara langsung maupun yang sudah bermetamorfosa melalui Arab dan negeri Timur. Umat Islam banyak yang terjebak pada konsep Arabisasi yang diyakininya sebagai sesuatu yang Islami, padahal di negeri-negeri Arab sendiri sedang mengalami modernisasi menuju kehancurannya. Sementara masyarakat non-Islam juga tidak kalah lucunya mengimpor aneka budaya kacau yang tidak sesuai dengan tradisi leluhurnya sendiri.
Hari ini, masihkah bisa kita jumpai masyarakat Jawa yang setia dengan pertanian sebagai lelaku? Jika pun bertani, masyarakat Jawa pun terjebak pola pikir kapitalisme. Hitungannya adalah berapa biaya bertani untuk dapat menjual hasil panen berapa. Tidak lagi berdoa ketika menyemai padi, tidak lagi sedih saat zat-zat kimia merusak tanah subur Jawa, tidak sedih ketika nasi dibuang sia-sia. Masihkah kita jumpai masyarakat yang nembang sebagai tutur untuk generasinya? Kalaupun ada, itu juga sebatas pentas seni dan komersialisasi suara. Hari ini, bisakah kita menemukan spirit kehidupan masyarakat Jawa yang minimal seperti zaman kehidupan para wali ketika mereka mewarnai Jawa dengan Islam?
Kita tidak bisa memilih untuk tidak menjadi orang Jawa, karena lahir di Jawa dan berkebudayaan Jawa adalah titah dari Allah. Adapun soal keyakinan itu adalah pilihan hati kita. Tapi apakah kita diperkenankan untuk saling bermusuhan atas perbedaan keyakinan itu? Jika kita telah memilih menjadi muslim, bukankah kewajiban kita menjamin keselamatan manusia lainnya? Wafatnya Umar bin Khattab di tangan salah satu budak yang bebas berkeliaran di lingkaran kehidupannya bukankah itu tanda bahwa di zaman itu setiap muslim lebih sibuk memberikan jaminan keselamatan pada manusia lainnya, sekalipun ternyata dirinya sendiri justru tidak selamat.
Bayangkan jika satu kampung memilik prinsip yang sama, alangkah indahnya hidup. Kita tidak perlu polisi dan tentara, karena masing-masing kita adalah polisi dan tentara untuk tetangga kita. Dari pada ada tentara tapi akhirnya kita mengalami ketakutan karena mereka sewaktu-waktu bisa menjadi mesin pembunuh seperti di Perang Dunia, konflik antar penguasa, hingga pembersihan etnis seperti yang sedang berlangsung di Rakhine saat ini. Mari berpikir.