Beranda Ekspedisi Jejak Walisongo Serial #EJW: Cirebon, Kota Para Pewaris Wali

Serial #EJW: Cirebon, Kota Para Pewaris Wali

BERBAGI
Kraton Kasepuhan Cirebon/AHAD.CO.ID-Andika Varian

Cirebon, AHAD.CO.ID- Salah satu kebijaksanaan Walisongo adalah pemanfaatan budaya masyarakat setempat untuk berdakwah. “Beliau tidak langsung menyalahkan praktik keagamaan masyarakat,” kata KH. Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya, di Pondok Pesantren Al-Bahjah, Jum’at (1/9) pagi. Dengan menggunakan wayang, misalnya, Sunan Kalijaga menyiratkan ajaran Islam seperti aqidah, akhlak, dan hukum dalam setiap lakonnya.

“Bahkan beliau (Sunan Kalijaga-red) memunculkan sosok baru di dunia pewayangan, seperti Semar,” tambahnya. Melalui Semar yang digambarkan sebagai sosok manusia bijaksana, Sunan Kalijaga menunjukkan bahwa para dewa tidak punya kekuasaan apa-apa di hadapannya.

Dengan mengurangi usur-unsur keyakinan Hindu-Budha, para wali mencerahkan pikiran masyarakat sehingga mau menerima Islam. “Di sinilah kemudian dimunculkan istilah kalimosodo, alias dua kalimat syahadat, dalam lakonan wayang, sebagai jalan keselamatan,” terang Buya.

Keberhasilan dakwah para wali di tanah Jawa terus berlanjut hingga kini. Mereka menyatukan masyarakat muslim Jawa dalam satu mazhab aqidah, yakni Asy’ariyah, dan mazhab fiqh Syafi’iyah. “Sekarang, giliran kita untuk melanjutkan dakwah mereka,” ucapnya.

Salah satu cara untuk melanjutkan dakwah walisongo, menurut Alumnus Hadramaut, Yaman ini dengan dengan memanfaatkan kebudayaan yang ada. “Jika para wali hidup di zaman sekarang, saya yakin mereka akan menguasai televisi nasional,” ungkap Buya.

Melanjutkan Gaya Dakwah Walisongo

Buya Yahya menerima tamu dari berbagai kalangan usai pengajian rutin Sabtu pagi di PP Al Bahjah/AHAD.CO.ID-tn.atjo

Sepulang menuntut ilmu di Hadramaut tahun 2005, atas perintah dari gurunya, Prof. Dr. Al-Habib Abdullah bin Muhammad Baharun, MA, Rektor Universitas Al-Ahgaff, Yaman, Buya Yahya mendirikan Lembaga Pengembangan Dakwah (LPD) Al-Bahjah. Lembaga ini awalnya sekolah persiapan bagi calon mahasiswa yang akan berangkat ke Universitas Al Ahgaff.

Setahun kemudian, program persiapan dievaluasi. Buya kembali meminta izin Al Habib Abdullah bin Muhammad Baharun untuk terjun dakwah ke masyarakat. Setelah izin didapatkan, Buya membuka majelis taklim di berbagai daerah, hingga akhirnya tahun 2010 diresmikan Pondok Pesantren Al-Bahjah, yang berada tak jauh dari jalan raya Sumber, yang menghubungkan Kuningan dengan Cirebon, dan juga berdekatan dengan jalan tol Palimanan-Kanci.

Saat Tim Ekpedisi Jejak Walisongo AHAD.CO.ID bersama LAZNAS BSM UMAT tiba di pesantren, Kamis (31/8) sore, para santri yang mengenakan imamah (sorban di kepala) dan gamis tengah sibuk mempersiapkan acara buka puasa bersama.

Kedatangan AHAD.CO.ID bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, hari di mana umat Islam yang tidak berhaji disunnahkan untuk berpuasa. Jama’ah yang hadir di acara buka bersama terdiri dari orang tua santri dan masyarakat setempat. Beberapa plat nomor mobil dan sepeda motor menandakan mereka juga datang dari luar pulau Jawa.

Acara buka bersama diselenggarakan di tanah lapang antara bangunan masjid, aula, dan kantor yayasan. Tanah lapang tersebut dialasi karpet untuk duduk jama’ah. Sambil menunggu azan maghrib, beberapa santri tampil melantunkan salawat yang diiringi rebana.

Sejurus kemudian, Buya Yahya memberikan tausiyah seputar Idul Adha dan memimpin do’a bersama. Jamaah tertunduk mengamini do’a dengan suasana yang menyentuh. Saat azan tiba, jamaah berbuka dengan air mineral dan kurma yang diberikan para santri. Setelah salat maghrib berjamaah ditegakkan, para santri membagikan nasi bungkus dan air mineral untuk dinikmati jamaah.

Buka puasa Arafah di PP Al Bahjah/AHAD.CO.ID-tn.atjo

Gaya dakwah Buya Yahya, melalui Al-Bahjah, merupakan upaya untuk melanjutkan peran Walisongo di masa kini. Selain menyelenggarakan pendidikan untuk santri dan masyarakat sekitar, pesantren tersebut juga berikhtiar memberdayakan umat lewat program ekonomi.

Di samping gerbang pesantren, pengunjung disambut oleh bangunan megah bertuliskan AB Mart. Di dalamnya, kita dapat membeli keperluan sehari-hari, seperti toserba pada umumnya. Di salah satu sudut toko tersebut juga menyediakan rak buku dan pakaian khas santri untuk kebutuhan kegiatan di pesantren.

Baca juga :   Maret 2018, “Funny Shaikh” Yusuf Estes Sambangi Indonesia

Namun, hal unik yang didapat dari toserba ini adalah merek-merek yang dijual. Sebagian besar merek didatangkan dari produsen usaha kecil dan menengah (UKM) yang ada di sekitar Cirebon. Untuk merek nasional pun tak semua tersedia. “Kami punya kebijakan untuk tidak menjual barang-barang tertentu,” kata salah seorang penjaga toko saat AHAD.CO.ID berbelanja keperluan ekspedisi di sana.

Komitmen tersebut juga ditegaskan oleh Buya Yahya. Saat mengomentari fenomena pembantaian terhadap umat Islam oleh beberapa kelompok di dunia, dalam tausiyah Sabtu (2/9) pagi, Buya menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk yang mendukung –baik langsung atau tidak langsung- praktik pembantaian itu. “Beli (barang) di warung tetangga Anda,” tegasnya. Baca juga: Buya Yahya Ajak Boikot Produk Myanmar

Untuk urusan syiar yang lebih luas, Al-Bahjah memanfaatkan teknologi informasi terkini, seperti internet dan radio. Lantai dua dari gedung kantor yayasan digunakan para santri sebagai studio dan kantor media mereka. Ceramah-ceramah Buya Yahya direkam dan disiarkan melalui kanal resmi Youtube milik pesantren dan Al-Bahjah TV, sedangkan radio yang diberi nama radio QU kini sudah ada di lebih dari 8 kota. “Saya tidak paham (teknologi-red) ini, tetapi kami manfaatkan orang-orang yang paham, maka kami bisa berdayakan santri untuk dakwah,” terang Buya.

Pewaris Sunan Gunung Djati

Tim Ekspedisi Walisongo foto bersama Kang Johan di PP Nurul Huda/AHAD.CO.ID-tn.atjo

Beberapa kilometer dari Pesantren Al-Bahjah, tepatnya di Desa Munjul, Kabupaten Cirebon, terdapat pesantren bernama Nurul Huda. Jika datang dari arah kota, untuk sampai ke Nurul Huda kita akan melewati pesantren yang lebih besar dan tenar, yakni Pesantren Buntet. Meski terpencil, kami beruntung bisa sampai ke sana, sebab pesantren itu didirikan oleh salah satu keturunan Sunan Gunung Djati.

Ketika kami tiba di sana sore hari masih dalam suasana Hari Raya Idul Adha. Kami langsung disambut oleh Habib Ahmad Jauhar Tauhid bin Yahya. Habib yang hanya ingin dipangil Kang Johan ini adalah generasi kedelapan dari pendiri pesantren, Kiai Abdullah Lebu. Setelah pesantren sebelumnya, di Desa Kalijaga, Cirebon, dibakar Belanda, Kiai Abdullah hijrah ke Desa Munjul dan mendirikan pesantren yang ada hingga sekarang.

Keluarga besar pesantren ini, baik secara nasab dan sanad keilmuan, adalah pewaris ulama besar sekaligus pemimpin Walisongo, Sunan Gunung Djati. “Secara amaliah, kami masih menjaga ajaran Sunan Gunung Djati, antara lain berupa nadzoman yang diulang-ulang menjelang waktu salat,” terang Kang Johan.

Setiap kali menegakkan shalat, kiai dan santri pesantren ini mengenakan imamah, sorban dan jubah berwarna putih. “Itu adalah ajaran Sunan Gunung Djati di bidang ibadah salat, karena jubah adalah sunah Rasulullah,” ungkapnya.

Setelah salat, Sunan Gunung Djati juga menyusun zikir dan lantunannya dengan unik, yakni memadukan zikir di dalam tarekat Syatariyyah, Qadiriyyah, dan Naqshabandiyah. “Di zaman dahulu, hal ini juga pernah ditanyakan oleh Sunan Muria, namun hingga kini keturunannya masih mempertahankan,” tambah penulis buku Kompas Ruhani, yang diterbitkan salah satu penerbit besar di Jakarta ini.

Malam semakin larut, perbincangan hangat dengan orang yang mewarisi sanad keilmuan dan silsilah kekerabatan dengan Sunan Gunung Djati harus kami akhiri walaupun Kang Johan nampak masih semangat bercerita. Kami harus bersiap menempuh perjalanan selanjutnya, menuju Jawa Tengah.

ISMAIL AL ALAM | DUDY SYA’BANI TAKDIR | TJAHJA GUNAWAN | TIM EKSPEDISI JEJAK WALISONGO