AHAD.CO.ID- Persoalan kafir dan takfir sering menjadi isu sensitif di kalangan umat Islam. Belakangan muncul kelompok-kelompok yang dengan mudahnya menjatuhkan vonis kafir kepada muslim yang bukan bagian dari kelompok mereka. Di sisi lain, orang Islam yang menyebut kafir kepada non muslim dianggap tidak toleran.
Karena itu, dalam sidang Ijtima’ Ulama Fatwa se-Indonesia ke-V yang diselenggarakan Juni 2015 di Tegal, Jawa Tengah oleh Majelis Ulama Idonesia (MUI), menghasilkan kesepakatan tentang kriteria pengkafiran (dhawabit at takfir).
Dikutip dari dokumen hasil sidang Ijtima’ Ulama MUI yang dimiliki AHAD.CO.ID, Pengertian kafir adalah orang yang menentang dan menolak kebenaran dari Allah SWT yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW. Kafir, tulis dokumen tersebut, ada empat macam, yaitu kafir inkar, kafir penolakan, kafir mu’anid, dan kafir nifaq.
Ijtima’ Ulama merinci definisi tersebut satu per satu. Seseorang disebut kafir inkar apabila mengingkari tauhid dengan hati dan lisan. Kemudian, disebut kafir penolakan (juhud) apabila mengingkari dengan lisan, tapi mengakui dalam hati.
Sementara kafir mu’anid berarti mengetahui kebenaran Islam dalam hatinya dan dinyatakan oleh lisannya, tapi ia menolak beriman. Terakhir, kafir nifaq, yaitu menyatakan beriman dengan lisan, tetapi hatinya mengingkari.
Memvonis kafir (takfiri) adalah mengeluarkan seorang Muslim dari keIslamannya, sehingga ia dinilai kafir (keluar dari agama Islam). Ada konsekuensi syariat atas seseorang yang dinyatakan kafir.
Antara lain, batalnya status pernikahan, tidak ada hak asuh anak, tidak ada hak untuk mewariskan dan mewarisi, serta tidak boleh dikubur di pemakaman Islam saat meninggal.
Sidang Ijtima’ MUI menegaskan, takfir merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan oleh orang per orang atau lembaga yang tidak mempunyai kredibilitas dan kompetensi untuk itu. Vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.
DUDY SYA’BANI TAKDIR