Jakarta, AHAD.CO.ID- Penulisan sejarah, atau historiografi, Indonesia rupanya masih menyisakan masalah. Sejarawan Tiar Anwar Bachtiar mengungkapkan pendekatan sejarah selama ini menempatkan Islam pada posisi marjinal. “Ini membentuk persepsi tidak proporsional antara Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan,” katanya dalam sesi diskusi Expert Series yang dihelat Ikatan Alumni UI (Berbadan Hukum), di Kompleks MPR/DPR, Kamis (8/6).
Padahal, sejarah merupakan aspek penting pembentuk identitas suatu bangsa. Dari sana pula kesadaran kebangsaan akan dipupuk. Dengan menyampingkan peran Islam, akan tercipta jarak antara Islam dan Ke-Indonesiaan. Tiar mencontohkan bagaimana sejarah Indonesia menulis perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Dari perspektif Islam, peristiwa itu merupakan jihad fi sabilillah. Namun perspektif itu luput dalam banyak literatur sejarah Indonesia. Kini, makna terma jihad justru dilabeli negatif. Jihad lebih mudah diidentikan dengan terorisme. “Jelas ini tidak proporsional,” ujar tokoh muda ormas Persatuan Islam (Persis) ini.
Belum lagi, porsi peran umat Islam yang belum tepat dalam kesepakatan membangun bangsa pada buku-buku sejarah. Seolah bangsa ini hanya dibangun dari kesepakatan segelintir pihak tertentu. Sementara umat Islam hanya pelengkap. Maka tak heran ada beberapa keolompok mempunyai pandangan keliru.
“Ada kalangan yang beranggapan, kalau menjadi Islam yang baik, kamu enggak bisa jadi Indonesia, kalau menjadi Indonesia yang baik, kamu enggak bisa jadi Islam,” papar Tiar.
Menurut dia, pangkalnya terletak pada penulisan sejarah Indonesia yang masih terpengaruh perspektif kolonialisme. Tak dimungkiri penulisan sejarah Indonesia modern memang diinisiasi kalangan penjajah. Ia mencontohkan karya-karya Thomas Raffles, mantan Gubernur Hindia-Belanda. Bias kepentingan penjajah sangat kentara. Sebab, penjajah menganggap Islam sebagai ancaman.
Sejarah yang ditulis penjajah lebih banyak menganggungkan periode Hindu-Budha sebagai masa keemasan Nusantara. Pendekatan itu pula yang digunakan dalam penulisan sejarah setelah Indonesia merdeka. Contoh gamblangnya, papar Tiar, adalah buku Sejarah Nasional Indonesia, yang jadi rujukan “resmi” buku ajar. Padahal, periode Islam menghasilkan lebih banyak sumbangsih yang masih terasa hingga saat ini.
Editor : Jennar Kiansantang