AHAD.CO.ID- Kita orang Indonesia lebih khusus lagi yang Muslim, sering berjanji dengan menambahkan Insya Allah.
Sudah benar memang, namun terkadang “insya Allah” justru membuat janji itu menjadi tidak dipercaya. Hal tersebut karena seringnya “insya Allah” seolah menjadi pembenaran saat janji tak dapat ditepati.
“Insya Allah, gua dateng”, “Iya, saya akan selesaikan minggu ini, Insya Allah” “Insya Allah, aku tidak akan terlambat” dan sebagainya.
Dalam buku Asbabun Nuzul yang disusun oleh KH. Q Shaleh dkk (1995) menukil riwayat mengenai sebab turunnya surah al-Kahfi ayat 23-24.
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut); ‘Insya Allah’.” (QS al-Kahfi [16]:23-24).
Suatu hari, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu’ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah untuk menanyakan kenabian Muhammad. Lalu, kedua utusan itu menceritakan segala hal yang berkaitan dengan sikap, perkataan, dan perbuatan Muhammad.
Lalu, pendeta Yahudi berkata, “Tanyakanlah kepada Muhammad akan tiga hal. Jika dapat menjawabnya, ia Nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi,” ujarnya.
“Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Maghrib dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang roh,” perintah sang pendeta.
Pulanglah utusan itu kepada kaum Quraisy. Lalu, mereka berangkat menemui Rasulullah SAW dan menanyakan ketiga persoalan tersebut di atas. “Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok,” kata Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW menyatakan akan menjawab tanpa disertai kalimat “Insya Allah”. Rasulullah SAW menunggu-nunggu wahyu sampai malam, namun Jibril tak kunjung datang.
Orang-orang Makkah mulai mencemooh dan Rasulullah sendiri sangat sedih, gundah gulana, dan malu karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy.
Kemudian, datanglah Jibril membawa wahyu yang menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan “insya Allah”. (QS al-Kahfi [18]:23-24).
Dalam kesempatan ini, Jibril juga menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang bepergian, yakni Ashabul Kahfi (18:9-26); seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (18:83-101); dan perkara roh (17:85).
Mufassir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Kitab Jaami’ul Bayan menjelaskan, “Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT.
Sungguh agung makna kata “Insya Allah” itu. Di dalamnya dikandung makna paling tidak empat hal.
Pertama, manusia memiliki ketergantungan yang tinggi atas rencana dan ketentuan Allah (tauhid).
Kedua, menghindari kesombongan karena kesuksesan yang dicapai (politik, kekayaan, keilmuan, dan status sosial).
Ketiga, menunjukkan ketawaduan (keterbatasan diri untuk melakukan sesuatu) di hadapan manusia dan Allah SWT.
Keempat, bermakna optimisme akan hari esok yang lebih baik.
Bagaimana jika kata “Insya Allah” dijadikan tameng untuk memperdaya manusia atau dalih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab?
Sesungguhnya kita telah melakukan dua dosa. Pertama, menipu karena menggunakan zat-Nya. Kedua, kita telah menipu diri kita sendiri karena sesungguhnya kita enggan menepatinya, kecuali sekadar menjaga hubungan baik semata dengan rekan, kawan, atau relasi.
Lalu kemudian, masihkah kita tidak bersungguh-sungguh menepati janji ? Masihkah kita menjadikan “Insya Allah” sebagai jaminan agar kita menepati janji tersebut?
JOHAN RIO PAMUNGKAS