Oleh : Ismail Al-‘Alam
(Mahasiswa tingkat akhir program studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina)
AHAD.CO.ID- Sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, 18 Agustus 1945, Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Penetapan tersebut berlangsung setelah penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta, “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”, yang diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kalangan non-muslim di wilayah Indonesia Timur berpendapat, piagam yang disepakati para pendiri bangsa pada 22 Juni 1945 itu dapat menjadi pembenaran bagi diskriminasi minoritas.
Kalangan sejarawan berselisih pendapat tentang cara aspirasi Indonesia Timur itu tiba di Jakarta. Kesaksian Bung Hatta bahwa seorang opsir Jepang menyampaikan aspirasi itu padanya, sore hari setelah proklamasi, masih disangsikan oleh beberapa pihak.
Satu hal lain yang sering dikenang dari peristiwa penghapusan itu adalah ucapan tokoh utama Masyumi, Mohammad Natsir. Bagi Natsir, setelah pada tanggal 17 Agustus mengucapkan hamdalah atas kemerdekaan RI, kita di tanggal 18 Agustus justru beristigfar karena penghapusan tujuh kata itu. “Insya Allah umat Islam tidak akan lupa…” ungkapnya.
Harapan Natsir tak keliru. Sampai saat ini, kalangan-kalangan yang gigih memperjuangkan penerapan syari’at Islam di Indonesia masih mengingat peristiwa 72 tahun yang lalu itu. Sebagian dari mereka merupakan penerus Natsir yang beramal di ormas dan partai Islam, namun sebagian lain justru hanya mengenal peristiwa itu ketimbang sosok Natsir sendiri. Musababnya ialah di satu sisi, mereka mengambil pelajaran tentang syari’at Islam dan penegakannya secara politis dari ideolog-ideolog gerakan Islam di Timur Tengah.
Di sisi lain, mereka cenderung asing dengan, bahkan terputus dari, pemikiran kebangsaan Natsir dan tokoh-tokoh muslim Indonesia lain. Keterputusan ini dapat menghasilkan perlakuan yang keliru, tatkala mereka menjadikan tokoh-tokoh itu sebagai sosok yang muncul dalam sejarah hanya saat diperlukan untuk membenarkan cita-cita ideologis golongan mereka saja.
Bersambung ke Natsir Sebagai Begawan
Editor : Dudy S Takdir