Beranda Mimbar Nusantara Jatuh ke Pelukan Islam Tanpa Melalui Peperangan

Nusantara Jatuh ke Pelukan Islam Tanpa Melalui Peperangan

BERBAGI

AHAD.CO.ID- Sebetulnya tak ada catatan yang menyatakan Islam tersebar di Indonesia melalui jalur militer. Sejarawan asing, Bernard H M Vlekke misalnya, paling jauh menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia melalui perkawinan budaya antara Islam dengan Hindu dan Budha, atau disebut juga sinkretisme.

“Tentu saja tidak bijaksana untuk menyingkirkan kemungkinan adanya tindakan masuk Islam yang murni, tapi Islam jelas tidak menimbulkan pemutusan hubungan yang tegas dengan masa lalu di Jawa,” tulisnya di Nusantara, Sejarah Indonesia.

Sementara Dr. HJ. De Graaf dan Dr. TH. G. TH. Pigeaue dengan indah mencatat jika ajaran Islam banyak menyentuh kaum istana tanpa kekerasan sebagaimana bangsa lain di dunia. Ia masuk dengan perlahan-lahan tanpa adanya paksaan. Justru sebagian besar kaum menengah Nusantara merasa bangga dan dilindungi hak hidupnya jika telah menganut ajaran Islam.

“Dalam pergaulan hidup masyarakat menengah yang berdagang ini,” tulisnya dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, “agama Islam yang memajukan sifat sama rata itu menciptakan tata tertib dan keamanan seraya menonjolkan kerukunan kaum Islam. Hukum pernikahan Islam, yang pada dasarnya tidak mengenal halangan berdasarkan perbedaan keturunan, golongan, dan suku merupakan pembaharuan besar dalam pergaulan hidup yang terpecah-pecah”.

Berbagai temuan sejarawan tersebut memang mendapatkan penegasan dari arkeolog ternama yakni Uka Tjandrasasmita. Menurut salah satu temuannya yang ia sajikan dalam Arkeologi Islam Nusantara, menyimpulkan bahwa memang secara garis besar Islam masuk ke Nusantara lewat jalur perdagangan, perkawinan, birokrasi, pendidikan (pesantren), sufisme, seni, dan lainnya.

Menyambung pendapat DR HJ De Graaf dan DR TH G TH Pigeaue tentang perkawinan, Uka Tjandrasasmita mengutip catatan Tom Pires menyangkut kebiasaan perkawinan yang terjadi diantara masyarakat Malaka.“Setiap orang memiliki satu atau dua orang istri dan juga gundik sebanyak yang ia sukai; mereka hidup bersama dengan damai. Dan negara mengamati kebiasaan ini: penyembah berhala menikah dengan perempuan Moor atau pria Moor (Muslim –red) dengan perempuan penyembah berhala dengan upacara mereka…”

“Dilihat dari sudut pandang ekonomi,” Uka Tjandrasasmita memberikan komentar terhadap catatan Tom Pires, “pedagang muslim asing memperoleh status atau kedudukan yang tinggi. Karena itu bangsawan dan raja-raja cenderung menginginkan pernikahan antara putri mereka dengan pedagang Muslim terjadi”.

Memang jika melihat kembali sejarah dengan lebih jeli maka akan ditemukan banyak sekali pedagang muslim yang melakukan pernikahan dengan golongan kerajaan. Misalnya perkawinan antara putri Campa dan Raja Majapahit, Brawijaya. Atau juga Maulana Ishak menikahi putri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri. Perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Gede Manila, putri Tumenggung Wilwatikta atau Majapahit. Berbagai data ini dapat ditemukan dalam Babad Tanah Jawi atau juga sebagaimana dinukil oleh KH Aminullah ketika memberikan tulisan sambutannya dalam buku Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri.

Baca juga :   LGBT: Angka-angka, Gerakan, dan Proyeksi ke Depan

Sejarah Nasional Indonesia jilid III juga mencatat atas damainya penyebaran agama Islam di Nusantara. Terkait dengan hubungan dagang di Malaka misalnya, para penyusun; Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, menggambarkan betapa baiknya hubungan yang terjalin antara Malaka dan Jawa sebelum datangnya bangsa asing, Portugis. Mereka menuliskan, “Dengan majunya Malaka, banyak alim Ulama datang dan ikut mengembangkan agama Islam di kota ini. Penguasa dengan sendirinya sangat besar hati. Meskipun penguasa belum memeluk agama Islam, namun pada abad kelima belas mereka telah mengizinkan agama Islam berkembang di Malaka. Penganut-penganut agama Islam diberi hak-hak Istimewa bahkan untuk mereka telah dibangun sebuah masjid”.

Meski ada sebagian kecil sejarawan atau sastrawan berhipotesa bahwa kedamaian dakwah Islam telah tercoreng lewat penyerangan Demak ke Majapahit saat kehancurannya, telah dibantah oleh Soetjipto Abimanyu dalam Babad Tanah Jawi. Ia menuliskan, “Adapun misalnya dalam Babad dan Serat memberitakan bahwa Demak menyerang Majapahit, ini karena dilatarbelakangi persaingan politik, bukan sentimen agama. Lagipula naskah Babad dan Serat juga menegaskan Majapahit yang lebih dahulu menyerang Giri Kedaton, Sekutu Demak di Gresik.”

Apalagi jika mengacu pada Prasasti Petak yang mengisahkan bahwa Majapahit runtuh pada tahun 1478, dapat disimpulkan bahwa yang menyerang Majapahit sebetulnya bukan Demak, melainkan Prabu Girindrawardhana. Sebagaimana pendapat NJ Krom dalam bukunya Javaansche Geschiedenis. Raden Patah sangat menghormati wasiat Sunan Ampel (gurunya) yang melarang dirinya memerangi umat Budha dan Hindu.

Ditambah lagi dengan fakta Raden Patah tak pernah meminta Kuil Sam Po Kong untuk dirubah menjadi masjid. Ini mengartikan bahwa ia sangat toleran dengan agama lain.

Sistem dakwah dengan jalan damai seperti ini sebetulnya merupakan implementasi atas nilai-nilai ajaran agama Islam. Seperti dinyatakan dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 125, “Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia lah yang lebih Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”

UMAN MIFTAH S