Jakarta, AHAD.CO.ID– Komnas HAM menilai pengembang apartemen Meikarta, Lippo Group, diduga keras melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya hak publik memperoleh informasi yang benar sesuai pasal 14 ayat (1) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.
“Promosi dan iklannya sangat masif, sehingga membius konsumen untuk bertransaksi. YLKI pun telah memprotes sebuah redaksi media masa cetak, karena lebih dari 30 persen isinya adalah iklan full colour Meikarta lima halaman penuh dari media cetak bersangkutan,” kata komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution di Jakarta, Selasa (12/9) malam.
Pemerintah, lanjutnya, punya mandat menindak dengan tegas, jika perlu menjatuhkan sanksi atas segala bentuk pelanggaran perizinan dan pemanfaatan celah hukum yang dilakukan oleh pengembang dan kemudian merugikan publik (pasal 28I ayat (4) UUDNRI tahun 1945).
“Untuk itu, Kepolisian negara harus memproses kasus ini secara profesional dan independen sesuai hukum yang berlaku,” katanya.
Lebih lanjut, dia juga meminta agar pihak manajemen Meikarta menghentikan segala bentuk promosi, iklan, dan penawaran lain atas produk Apartemen Meikarta sampai seluruh perizinan, amdal, dan aspek legal telah dipenuhi oleh pengembang.
“Meikarta jangan berdalih kalau pihaknya sudah mengantongi IMB, padahal yang terjadi sebenarnya adalah proses permohonan pengajuan IMB,” imbuh Maneger.
Komnas HAM meminta masyarakat agar berhati-hati, kalau perlu menunda untuk membeli unit apartemen di Kota Meikarta sampai jelas status perizinannya. Jangan mudah tergiur dengan iming-iming dan janji fasum/fasos oleh pengembang.
“Sebelum menandatangani dokumen pemesanan, bacalah dengan teliti, dan saat pembayaran booking fee harus ada dokumen resmi, jangan dengan kwitansi sementara,” tegasnya.
Praktik yang dilakukan Lippo Group menurut Maneger akan membuat posisi konsumen berada dalam kondisi yang sangat rentan dirugikan, karena tidak memiliki jaminan atas kepastian pembangunan.
Padahal, lanjutnya, pemasaran yang dilakukan tersebut, diduga keras melanggar ketentuan Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2011, yang mewajibkan pengembang untuk memiliki jaminan atas Kepastian peruntukan ruang; kepastian hak atas tanah; kepastian status penguasaan gedung; perizinan; dan jaminan pembangunan sebelum melakukan pemasaran.
Mengutip data YLKI, sistem pre-project selling dan pemasaran yang dilakukan oleh banyak pengembang sering kali menjadi sumber masalah bagi konsumen di kemudian hari. Terbukti sejak 2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan terkait perumahan, yang mayoritas masalah tersebut terjadi akibat tidak adanya konsistensi antara penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang terjadi.
“Bahkan 2015, sekitar 40% pengaduan perumahan terjadi sebagai akibat adanya pre project selling, yakni adanya informasi yang tidak jelas,benar dan jujur; pembangunan bermasalah; realisasi fasum/fasos; unit berubah dari yang ditawarkan,” pungkasnya.
DUDY S.TAKDIR