Oleh Asyari Usman
Mantan wartawan BBC*
Kemarin, Ketua Umum Golkar Setya Novanto memuji pengunduran diri Ridwan Mukti dari jabatannya sebagai gubernur Bengkulu karena dijadikan tersangka kasus korupsi oleh KPK. Ketua DPD Golkar Bengkulu itu mengumumkan pengunduran dirinya kemarin, Rabu (21 Juni 2017).
“Saya beri apresiasi yang sangat besar sebagai kader Golkar yang langsung melakukan hal terbaik buat kepentingan penyidikan lebih lanjut,” kata Novanto seperti dikutip berbagai media.
Begitu saya baca berita tentang apresiasi Novanto itu, saya teringat langsung dengan kasus korupsi e-KTP. Novanto adalah salah satu “terduga keras” kasus pengadaan blanko kartu ini. KPK sampai mengeluarkan pencekalan ke luar negeri untuk beliau. Artinya, KPK memiliki keyakinan bahwa dia bukan orang yang difitnah dalam kasus ini.
Sekarang, Novanto memuji tindakan Ridwan Mukti itu. Pujian ini sangat tepat. Tetapi, pujian itu jauh lebih bagus kalau datang dari orang yang tidak terimplikasi kasus korupsi. Terus terang, jungkir-balik rasanya bumi ini mendengar pujian Novanto untuk kolega partainya yang mundur gara-gara korupsi.
Sebaiknya bukan Novanto yang memberikan apresisasi. Biarkan petinggi Golkar yang lain untuk berkomentar. Sebab, orang justru menunggu langkah ksatria Anda sendiri, Pak Novanto, untuk mundur dari semua posisi yang terkait dengan kepentingan bangsa dan negara setelah nama Anda “meroket” dalam kasus e-KTP.
Jangankan orang di luar Golkar, orang-orang Golkar sendiri begitu banyak yang gerah terhadap keterkaitan Anda dengan e-KTP. Kader-kader muda Golkar, paling tidak, menginginkan agar pimpinan tertinggi partai tidak ternoda kasus korupsi. Mereka ingin Anda segera “cabut”.
Apalagi Anda sampaikan pula nasihat seperti ini, “Kami sudah sampaikan saat Rapimnas, kami minta jangan sampai terlibat nepotisme, KKN, korupsi karena sangat merugikan kepentingan bangsa negara.”
Tidakkah ada perasaan “malu” atau “risih” menyampaikan taushiyah seperti ini?
Indonesia, Indonesia! Lama-lama terkikis habislah standar moralitas bangsa kita ini! Hajablah kita, Pak!
Sudah sebegitu parahnyakah Indonesia ini?
Novanto memang belum terbukti bersalah dalam kasus e-KTP. Tetapi semua indikasi yang disebutkan secara terbuka menunjukkan bahwa ketua DPR itu ada meninggal jejak di situ. Begitu banyak dan sering nama Novanto disebut-sebut dalam rangkaian proses hukum kasus ini.
Terasa sangat tidak logis kalau “ada asap, tak ada api”.
*Penulis adalah mantan wartawan BBC. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitan dengan BBC.