Beranda Berita Pengamat: Early Warning Keamanan Bila Asumtif Tidak Perlu Dipublikasi

Pengamat: Early Warning Keamanan Bila Asumtif Tidak Perlu Dipublikasi

BERBAGI

Jakarta, Ahad.co.id - Pengamat Terorisme & Intelijen, Harits Abu Ulya menanggapi informasi yang disampaikan oleh Polri ke publik terkait potensi ancaman aksi terorisme di momen seputar Natal-2018 dan Tahun Baru 2019.

Menurut Harits, dalam perspektif politik keamanan, suatu hal yang wajar pihak berwenang mengeluarkan early warning (Peringatan dini,red) ke publik tentang potensi munculnya gangguan atau ancaman keamanan, baik itu datangnya dari aksi terorisme, perampokan atau bentuk kriminal lainnya.

“Dengan begitu bisa diharapkan masyarakat waspada dan berhati-hati,” katanya kepada ahad.co.id, Jakarta, Jumat (14/12/2018).

Namun, imbuh Harits, dalam konteks isu terorisme secara spesifik, ia melihat pernyataan dari pihak Polri adalah sebagai bentuk kekhawatiran tentang kemungkinan adanya serangan teror. Kekhawatiran tersebut hanya bersandar pada hipotesa atau ancaman bersifat asumtif.

“Menurut saya, jika pernyataan Polri itu adalah produk intelijen dengan kualifikasi A1 tentu langkah preventif menjadi prioritas dilakukan untuk meminimalisir potensi ancaman tersebut dan bukan penindakan setelah terjadinya peristiwa. Dan langkah preventif tersebut tetap harus mengacu kepada perundang-undangan yang berlaku,”ungkap Direktur Community Islamic Ideological Analist (CIIA).

Seandainya produk intelijen tersebut tidak kualifikasi A1, lanjut Harits, maka menjadi tidak relevan disampaikan ke publik. Karena potensi ancaman tersebut sifatnya dugaan atau kekhawatiran.

Harits mengatakan bila hal ini diekspos ke publik justru berpotensi kontraproduktif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Paling tidak, katanya lagi, publik diliputi rasa cemas untuk menjalankan aktifitas di berbagai sektor kehidupan yang seharusnya tidak perlu seperti itu.

Baca juga :   Berikut Isi Lengkap Tausiyah Kebangsaan Wantim MUI, Perhatikan Poin Nomor 5

“Jika potensi ancaman tersebut adalah lebih dekat disebut kekhawatiran, maka saya melihat itu tepat untuk konsumsi internal kalangan aparat keamanan khususnya Polri. Karena, pola aksi teror dalam 5 tahun terakhir mayoritas targetnya adalah aparat kepolisian dan simbol-simbolnya,”ujarnya.

Harits menegaskan kembali pernyataan Polri terkait terorisme di akhir dan awal tahun, lebih relevan untuk menjadi early warning bagi internal Polri.

Publik Kritis Soal Isu Terorisme

Di sisi lain, ujar Harits, perlu sadar adanya dinamika publik yang sangat kritis terhadap isu terorisme. Resistensi Publik terhadap isu terorisme sangat tinggi, mereka antara percaya dan tidak.

Misalkan, sambung Harits, soal isu potensi serangan terorisme akhir tahun, di pandang sebagai pengulangan isu setiap tahunnya yang di ekspos ke publik. Dan isu tersebut tidak selalu sesuai dengan realitasnya. Begitu juga soal sikap kritis masyarakat, terhadap persoalan pokok terkait paradigma yang di jadikan basis untuk menyikapi isu terorisme oleh pihak pemerintah dalam hal ini institusi terkait seperti Polri, BNPT dan lain-lain.

“Publik melihat adanya ambiguitas pada aspek penindakan yang dilakukan aparat penegak hukum jika mengacu kepada UU Terorisme yang baru,”katanya.

Bilal