Jakarta, Ahad.co.id - Pengamat Terorisme & Intelijen, Harits Abu Ulya mengatakan terorisme dipandang oleh publik sebagai terminologi yang mengalami penyempitan makna. Bahkan tendensius diarahkan kepada kelompok agama tertentu, yakni Islam dan umatnya.
“Dan terorisme menjadi ‘topeng’ sebuah proyek kepentingan kelompok opuntunir,” kata Direktur Direktur Community Islamic Ideological Analist (CIIA) kepada ahad.co.id, Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Bahkan, lanjut Harits, berkembang retorika di tengah-tengah publik, bersandarkan UU terorisme yang ada, apakah rezim saat ini berani menakar teror yang dilakukan oleh separatis OPM di Papua.
“Siapa yang layak di sebut teroris? Mereka yang punya jaringan internasional, punya sayap politik, sayap militer, dan terbukti melakukan teror pembunuhan terhadap rakyat sipil dan militer, mereka punya ideologi dan motif politik yaitu Papua merdeka,” ungkapnya.
Ataukah, imbuh Harits, seperti sekelompok orang atau individu dengan bom pancinya, dengan latar belakang bisnis kebab atau herbalnya, atau karena pernah terlibat jihad di Ambon, Poso atau di Afganistan, dan mereka di identikan sebagai sekelompok muslim yang hendak mendirikan negara Islam atau Khilafah Islam?” tanyanya retoris.
Harits juga mengatakan pemangku kebijakan hendaknya sadar bahwa proyek kontra terorisme itu undermonitoring oleh publik secara ketat dengan amunisi kritik yang tajam dan rasional.
“Jika tidak adil dan bijak dalam tata kelola penanganan isu terorisme maka akan melahirkan blunder dan resistensi yang luar biasa dari publik!” tandasnya.
Bilal