Oleh: Tjahja Gunawan
(Pemred AHAD.CO.ID)
Ahad.co.id – Ada kemiripan antara Kasus Tabloid Monitor yang terjadi tahun 1990 dengan kasus Ahok di tahun 2016. Keduanya merupakan kasus penistaan agama.
Pada tahun 1990, Arswendo Atmowiloto sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor yang pada waktu itu merupakan bagian dari Kelompok Kompas Gramedia, membuat polling tentang tokoh idola menurut para pembacanya.
Menurut hasil polling yang dirilis tabloid hiburan tersebut, nama Presiden Soeharto berada di urutan pertama. Disusul kemudian dengan nama BJ Habibie, Soekarno, lalu musisi Iwan Fals.
Nama Arswendo sendiri masuk ke dalam urutan ke-10, sementara Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam berada pada urutan ke-11.
Saat itu muncul kemarahan dari umat Islam. Hal ini kemudian memicu gelombang aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Misalnya di Jawa Barat, massa Umat Islam waktu itu berunjuk rasa ke Kantor DPRD Jabar di Jalan Diponegoro Bandung. Mereka menyampaikan tuntutan agar Tabloid Monitor ditutup dan Arswendo diadili.
Tuntutan massa meluas
Tuntutan massa tersebut terjadi dimana-mana. Aksi demonstrasi juga merebak di berbagai kampus. Sementara gelombang unjuk rasa massa di Jakarta, terjadi di Kantor Tabloid di Jalan Palmerah Jakarta.
Melihat banyaknya massa yang datang, pada waktu itu Arswendo terpaksa diamankan dan dievakuasi dengan menggunakan kendaraan mobil box yang biasa dipakai untuk mendistribusikan koran dan media-media lainnya yang diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia.
Supaya tidak diketahui massa pengunjuk rasa, Arswendo terpaksa mengenakan helm ketika dibawa dengan pengaman super ketat ke mobil box.
Sementara elemen masyarakat lainnya melaporkan secara resmi Arswendo ke polisi atas tuduhan menghina Nabi Muhammad.
Ketika itu, Arswendo berkilah tidak punya maksud atau sengaja menghina Nabi Muhammad SAW. Tapi dia tetap dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.
Dihukum lebih ringan
Nah, rentetan peristiwa yang dialami Ahok juga hampir sama. Bedanya, Ahok dihukum lebih ringan yakni hanya 2 tahun. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua terutama lembaga dan aparat hukum bahwa jika para penista agama tidak dihukum, maka nanti orang akan bebas menghina agama.
Jika aparat membiarkan atau tidak serius menangani kasus penistaan agama, akan mendorong masyarakat untuk melakukan aksi turun ke jalan seperti pada kasus Monitor dan Ahok.
Pada tahun 1990, bukan hanya Arswendo yang diadili tapi Tabloid Monitor juga ditutup oleh Pimpinan Kompas Gramedia Jakob Oetama selaku pimpinan Kelompok Kompas Gramedia.
Selang beberapa bulan kemudian Jakob Oetama juga menutup Majalah Senang, karena diindikasikan ada produk karikatur yang bisa menyinggung perasaan Umat Islam.
Setelah peristiwa tersebut, media yang berada dibawah Kelompok Kompas Gramedia menjadi lebih hati-hati terhadap peristiwa yang bermuatan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan).
Pada saat terjadi kasus penistaan Al Qur’an yang dilakukan Ahok 2016, Kompas berusaha menghindari pemberitaan soal ini meski yang dilakukan mantan Gubernur DKI sangat melukai perasaan umat Islam.
Namun demikian, Kompas tetap bersemangat memberitakan kegiatan Ahok bahkan mengarah pada glorifikasi Ahok dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI. Dalam hal ini, terlihat standard ganda Kompas.
Oleh karena itu rentetan Aksi Bela Islam tahun 2016, yang kemudian diikuti dengan Reuni 212 tahun 2017 dan 2018 lalu, tidak mendapat porsi pemberitaan yang besar di Harian Kompas.
Namun para pembaca khususnya umat Islam umumnya sudah mengetahui dan paham media mana yang sekarang patut menjadi patokan dalam mendapatkan informasi disamping informasi di media sosial.
Seperti diketahui, gelombang Aksi Bela Islam (ABI), Jumat 2 Desember 2016 merupakan rentetan dari kasus penistaan Al Qur’an yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Waktu itu aparat tidak segera memproses kasus penistaan Agama oleh Ahok meskipun sudah banyak elemen masyarakat yang mengadukan kasus itu ke polisi.
Tuntutan umat Islam melakukan serangkaian kegiatan aksi tiada lain bertujuan untuk mendesak aparat agar segera memeriksa dan memroses hukum terhadap Ahok.
Pada tanggal 4 November 2016, ulama dan para tokoh agama mendatangi Kantor Bareskrim di Jalan Medan Merdeka Timur. Lalu melanjutkan aksi ke depan Istana Kepresidenan.
Tujuannya, menyampaikan aspirasi umat secara langsung kepada Presiden Joko Widodo. Namun, alih-alih menerima kedatangan ulama dan tokoh agama, Presiden Jokowi malah meninggalkan Istana lalu pergi ke Cengkareng melihat proyek rel kereta api bandara. Menurut informasi, kepergian Jokowi ke Cengkareng atas saran Kepala Staf Kepresidenan waktu itu Luhut Binsar Panjaitan yang sekarang menjadi Menko Bidang Kemaritiman.
Bukan hanya itu, umat Islam dan para tokoh agama yang datang ke depan Istana justru malah disambut aparat dengan cara kekerasan. Massa pengunjuk rasa dihujani dengan gas air mata.
Seandainya Presiden Joko Widodo mau menerima para ulama dan tokoh umat Islam pada tanggal 4 November 2016, kemudian bisa memberikan jaminan proses hukum terhadap pelaku penistaan, mungkin tidak akan ada ABI atau Reuni 212.
Pertolongan Allah SWT
Menyadari kekeliruannya, lalu pada Aksi Bela Islam 2 Desember 2016, Presiden Jokowi, Panglima TNI dan Kapolri dan beberapa menteri bersedia datang. Rombongan Presiden datang mendadak menjelang pelaksanaan Sholat di Lapangan Monas dengan Khotib Habib Rizieq Shihab.
Sekarang kegiatan 212, bukan hanya ajang silaturahmi tetapi sekaligus menyatukan harapan terwujudnya negara Indonesia yang adil dan makmur. Dan yang datang ke Jantung Ibukota Jakarta di Lapangan Monas, bukan hanya dari kalangan umat Islam tetapi juga dari kalangan non muslim.
Berbagai kekhawatiran, ancaman, fitnah dan teror yang diarahkan pada kegiatan Reuni 212, Alhamdulillah berhasil ditepis dan diatasi dengan baik. Semuanya terjadi berkat bantuan dan pertolongan Allah SWT sehingga pelaksanaan kegiatan Reuni 212 bisa berlangsung aman, damai, dan lancar.
Ada liputan atau tidak dari media mainstream, Reuni 212 terbukti mampu menyatukan masyarakat. Semoga kegiatan seperti ini bisa diselenggarakan setiap tahun. Aamiin. []