Beranda Berita Rapor Merah Jokowi-JK Soal Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Rapor Merah Jokowi-JK Soal Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

BERBAGI
Dr. Maneger Nasution/Dokpri

Jakarta, AHAD.CO.ID- Direktur Pusdikham Uhamka, Dr. Maneger Nasution mengungkapkan, ada beberapa catatan yang menjadi rapor merah pemerintahan Jokowi-JK dalam penegakan HAM.

Misalnya soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam penulusuran Pusdikham Uhamka terhadap janji politik Jokowi-JK (nawacita), salah satunya adalah penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ada 10 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung: 1) Tanjung Priok (1984), 2) Timor Timur (1999), 3) Abepura, Papua (2000), 4) Wasior dan Wamena, Papua (200), 5) Talangsari, Lampung (1989), 6) Kasus 1965-1966, 7) Petrus (1982-1985), 8) Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 (1998), 9) Kerusuhan Mei 1998, dan 10) Penghilangan orang secara paksa (1997-1998).

Ada 3 kasus (30%) yang sudah diselesaian oleh pemerintahan sebelum Jokowi-JK (Tanjung Priok. Abepura, dan Timtim).

“Tapi sampai tiga tahun rezim Jokowi-JK, belum ada tanda-tanda penyelesaian komprehensif. Artinya, ada 7 kasus (70%) lagi pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan. Dalam konteks ini rezim Jokowi-JK belum memenuhi janji politiknya, Nawacita,” ungkap Maneger di Jakarta, Kamis (28/12).

Selain itu, pemerintah Jokowi-JK juga dinilai memiliki rapor merah soal penanganan tindak pidana terorisme. Benar memang bahwa aksi terorisme oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun adalah musuh kemanusiaan.

“Hanya penanganannya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM. Untuk itu pemerintahan Jokowi-JK harus melakukan perbaikan penangan terorisme sesuai perspektif HAM,” kata Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah itu.

Baca juga :   Selain Investasi, 3 Isu Ini Akan Dibahas Dalam Pertemuan Bilateral Indonesia-Singapura

Soal demokrasi, Presiden Jokowi memiliki rapor merah karena menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas. Dan, celakanya lanjut Maneger, DPR mengesahkan RUU Perppu Ormas tersebut. Kini Perppu Ormas yang digagas rezim Jokowi itu resmi menggantikan UU Nomor 17 tahun 2013.

Pengesahan Perppu Ormas menjadi UU Ormas memantik pro-kontra. Bagi yang pro, meyakini UU Ormas itu adalah bentuk kehadiran negara mengatur hak-hak sipil warga negara.

“Sedangkan bagi yang kontra, menilai UU Ormas teranyar itu di samping cacat proses kelahiran, substansinya juga mengancam masa depan demokrasi dan HAM serta mengingkari Indonesia sebagai negara hukum. Untuk itu kami mendukung PP Muhammadiyah melakukan uji materi UU Ormas tersebut,” katanya.

Selanjutnya soal persekusi yang oleh Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional dikategorikan salah satu jenis kejahatan kemanusiaan. Dalam catatan Pusdikham selama 2017 ada 48 kasus persekusi.

“Yang teranyar, kasus dugaan persekusi terhadap tokoh agama, Ustaz Abdul Somad oleh sekelompok orang intoleran di Bali (8/12/2017),” katanya.

Oleh karena itu, Pemerintahan Jokowi harus memastikan hak konstitusional warga negara untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal serta meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah NKRI terpenuhi.

Pemerintahan Jokowi, khususnya kepolisian negara harus menginvestigasi peristiwa itu dan memproses pelaku dan aktor intelektualnya secara profesional, independen, berkeadilan, transparan, dan tidak diskriminatif sesuai dengan hukum yang berlaku.

“Negara tidak boleh kalah dengan kelompok intoleran. Negara tidak boleh membiarkan impunitas,” tegasnya.

DUDY S.TAKDIR