Beranda Headline Freeport: Memperpanjang Pelecehan dan “Freedom of Looting”

Freeport: Memperpanjang Pelecehan dan “Freedom of Looting”

BERBAGI
Asyari Usman/sumber foto: dokumentasi pribadi

Oleh Asyari Usman
Wartawan Senior

AHAD.CO.ID- Seribu satu alasan untuk mengetuk palu perpanjangan kontrak operasi perusahaan tambang Freeport McMoran di bumi Papua. Kontrak diperpanjang sampai 2041. Disahkan kemarin, 4 Juli 2017. Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat.

Pemerintah mengisyaratkan bahwa Indonesia mendapatkan “terms and conditions” (syarat dan ketentuan) yang cukup bagus. Tetapi, sebagus apa pun poin-poin yang diperoleh Indonesia, kesan pelecahan kedaulatan dan bangsa Indonesia tidak akan sirna. Selain itu, rakyat melihat Freeport identik dengan “freedom of looting” (kebebasan menjarah).

Kehadiran Freeport, dengan segala persepsi kesewenangannya selama ini, tidak akan pernah dilihat positif oleh rakyat. Freeport membodohi Indonesia; Freeport mengangkangi kedaulatan Indonesia; Freeport “majikan Indonesia”; Freeport sumber duit besar bagi para petinggi negara, adalah beberapa dari sekian banyak stigma yang teleh melekat di pikiran rakyat.

Belum lama ini, ketika isu kontrak Freeport mendominasi pemberitaan, pemerintah Jokowi ingin menunjukkan bahwa mereka “bukan” Suharto, bukan SBY, bahwa mereka bukan rezim yang lemah, yang mudah ditekan-tekan oleh negara mana pun. Ternyata, tidak ada yang mampu melawan Freeport. Jokowi yang ingin terlihat tegas dan kebal tekanan, omong kosong juga akhirnya.

Ada sedikit apresiasi untuk Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang sempat unjuk gigi ketika manajemen Freeport tidak mau patuh pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah Jokowi. Entah pura-pura atau tidak, LBP menampakkan sikap keras kepada Freeport.

Tetapi, akhirnya LBP kemarin dipermalukan oleh kehebatan Freeport dalam “menjinakkan” pemerintah Jokowi yang semula mengaum-ngaum pertanda tidak sudi di-fait-accompli. Kira-kira orang Freeport ingin mengatakan, “Tidak ada orang yang hebat di Indonesia.”

Agar tidak terlihat babak belur, jurubicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berusaha mengolah kepecundangan pemerintah menjadi kemenangan. Padahal, pemerintah “dihajar” habis oleh Freeport. Jokowi dibuat tak berkutik. Permintaan divestasi (penjualan) saham Freeport sebesar 51% kepada Indonesia yang dijadikan salah satu syarat perpanjangan, kelihatannya belum akan menjadi kenyataan.

Baca juga :   Jamkes Watch: BPJS Kesehatan Perlu Perbanyak Layanan ICU

Freeport tahu persis bahwa penyerahan saham mayoritas berarti memastikan “pengusiran” mereka dari bumi Indonesia. Merekan akan menolak permintaan ini, selihai mungkin. Paling tidak, Freeport akan mengulur-ulur waktu.

Orang ESDM kelihatan gerah menjelaskan poin ini. Mereka mencoba meyakinkan masyarakat tentang divestasi itu dengan mengatakan, “Ini merupakan syarat mutlak.” Sementara di pihak Freeport, mereka mungkin ketawa-ketawa saja mendengar cuitan yang, bagi mereka, dianggap “anjing menggonggong, kafilah lalu”.

Kemudian, ada janji Freeport untuk menggunakan produk-produk dalam negeri Indonesia dalam kegiatan usahanya. Sambil lalu, perusahaan raksasa ini mengiyakan saja. Siapa yang bisa memantau mereka. Freeport, kata banyak sumber yang tahu praktik mereka, bisa dengan leluasa membawa masuk ke Mimika barang-barang yang mereka perlukan.

Terus, ada janji untuk membuat smelter (peleburan/pemurnian) bijih tambang (terutama emas) di Gresik. Tujuannya, agar bahan tambang tidak lagi dibawa mentah ke Amerika Serikat untuk dimasak. Ini pun akan diiyakan saja oleh Freeport. Instansi mana di Indonesia ini yang “berani” mencegah kapal-kapal mereka keluar-masuk di Papua. Siapa nanti yang bisa memastikan bahwa Freeport tidak membawa bahan tambang mentah ke luar?

“Sudah dari dulu mereka terbiasa menempuh jalan pintas untuk memuluskan keinginan mereka,” kata seorang pemerhati.
“Freeport sudah bisa menjengkal orang-orang Indonesia yang rakus. Tidak heran,” kata seorang teman yang rajin mengamati sepak terjang Freeport.

Perusahaan itu, kata beliau, sudah sangat paham bagaimana cara mendiamkan pejabat-pejabat Indonesia. Ada dua cara yang ampuh: tekanan politik G-to-G, dikombinasikan dengan pendekatan “Papa minta saham” atau “Papa minta dollar”.
Bagaimana dengan reaksi media massa? Koran KOMPAS tidak begitu ribut. Begitu juga Media Indonesia, serta stasiun-stasiun televisi nasional yang selama ini menunjukkan keberpihakan kepada Jokowi. Mereka menjadi tumpul.