Oleh Asyari Usman
Wartawan Senior
AHAD.CO.ID – Di tulisan terdahulu tentang KAAYL (film pendek “Kau Adalah Aku Yang Lain”), saya mencoba menggambarkan bahwa di tubuh kepolisian (lebih tepat disebut di dalam pikiran sebagian petingginya) ada prasangka yang sangat jelek tentang Islam dan umat Islam. Kali ini, mari kita lihat blunder besar Polri ketika mempromosikan KAAYL.
Kepolisian RI pastilah berniat baik ketika mendukung dan menyebarluaskan film itu. Film ini bercerita tentang keberhasilan polisi dalam membujuk seorang “ekstremis” yang menghalangi ambulans yang membawa seorang pasien (non-Muslim) untuk melewati jalan kampung yang sedang ditutup karena ada pengajian warga. Tetapi, niat baik itu terlindung oleh fakta keburukan dan kekonyolan di film ini.
Polri, dan Anto Galon (pembuat film), tampaknya memiliki pemahaman yang jauh di bawah rata-rata pemahaman umat Islam tentang cara berislam. Galon membawa imajinasinya mundur jauh ke belakang. Imajinasi yang menggambarkan sikap sewenang-wenang warga muslim. Dia bagaikan “terkucil” dari kenyataan tentang sikap kemanusiaan kaum muslimin. Kacaunya, orang-orang cerdas di kepolisian “mau” diajak Galon untuk berpikir mundur.
Saya tidak percaya kalau petinggi Polri yang mengurusi film KAAYL itu, tidak tahu arti “profiling” atau “stereotyping”. Kedua kata ini memiliki makna yang negatif. Yaitu, memberikan label atau cap jelek kepada golongan tertentu.
Anto Galon, dengan restu Polri, menyimpulkan bahwa adegan-adegan yang dilakonkan oleh si Embah Gondrong yang tidak toleran kepada umat agama lain, sering terjadi di Indonesia. Tidak habis pikir, kenapa Galon sampai berhayal seperti itu. Karena itu, pembuat film pendek yang sangat provokatif dan memojokkan kaum muslimin itu, perlu diajak berdialog agar imajinasinya tidak menjadi lebih liar lagi.
Polisi juga perlu menjelaskan mengapa bisa sampai setuju menggambarkan kaum muslimin seperti yang diperankan oleh si Embah Gondrong. Pelabelan di KAAYL ini tidak main-main. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa KAAYL, Anto Galon, dan juga Polisi, memiliki untuk menyebarluaskan pesan bahwa intoleransi kaum muslimin sudah sebegitu parah, sampai-sampai tega menghalangi orang yang sedang sekarat untuk menggunakan jalan yang ditutup untuk pengajian. Meski pun akhirnya Si Embah mengalah.
Yang sangat mengerikan adalah kelakuan “bandel” dan “ngeyel” yang ditunjukkan si Embah. Seolah-olah seperti itulah kaum muslimin dalam bermasyarakat, berinteraksi dengan umat agama lain. Sungguh deskripsi yang sangat menyesatkan.
Polri memiliki divisi humas yang sangat besar dengan SDM yang “educated”. Dipimpin oleh seorang inspektur jenderal. Kok bisa konten film yang sifatnya memojokkan kaum muslimin itu, disetujui dan didukung penyebarannya. Kalau tidak karena blunder besar, maka Polisi harus rela disebut sebagai pihak yang ikut terjebak menebar kebencian terhadap umat Islam.
Kalau rangkaian kejadian ini diakui sebagai blunder, pastilah kaum muslimin siap mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak bersalah.
Seiring dengan itu, klarifikasi dan permintaan maaf dari Polisi, dan juga Anto Galon, merupakan tindakan yang seharusnya tidak perlu menunggu tuntutan atau desakan dari masyarakat.